Popular Post

Popular Posts

Posted by : Unknown Selasa, 04 Oktober 2016

Light Novel Cover

This Is Unfair

   Namaku Kazuki Kato. Aku berasal dari kota Tokyo dan pindah ke kota Nagasaki untuk melanjutkan pendidikanku. Aku berharap dengan pindahnya ke Nagasaki masa-masa kelamku di Tokyo bisa kulupakan. Aku memilih SMA Sumire untuk menjadi tonggak perubahan diriku. Tidak berteman, tidak besosialisasi, hanya melakukan hal-hal yang biasa. Itu semua kulakukan agar aku tidak perlu membuat kenangan bersama orang-orang di sekitarku. Dan hari ini adalah hari pertamaku menuju masa-masa SMA yang sebagian orang bilang adalah masa yang paling indah sepanjang hidup.
“Kazuki Kato! Salam Kenal.” Aku memperkenalkan diri di depan kelas. Semua mata yang ada di depanku menatap ke arahku, tetapi aku hanya membalas tatapan mereka dengan sebuah senyum sinis untuk menunjukkan sedikit keramahanku. Aku tidak mau semua orang mengira bahwa aku orang yang mudah untuk mereka dekati, setidaknya itu yang terpikir di benakku.
Aku bisa mendengar wanita di depanku tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Wah, lumayan tampan juga dia”. Wanita itu melihatku dengan tatapan yang membuatku sedikit takut dan gugup karena tatapannya yang seperti seekor singa kelaparan yang tidak lama berburu dan akhirnya bisa mendapatkan sebuah buruan di depan matanya.
“Kazuki-kun. Silahkan duduk di kursi yang masih kosong.” Guruku menyuruhku dan menunjuk ke arah belakang kelas yang terdapat dua kursi yang kosong.
“Kazuki, kau boleh duduk di sampingku.” Lagi-lagi wanita itu mengatakan sesuatu yang aneh padaku.
“Tidak perlu. Terima kasih.” Aku menjawabnya dengan dingin sambil berjalan ke arah belakang kelas. “Aku akan duduk disini.” Lanjutku sambil mengetuk meja kosong dengan jariku seakan menandakan bahwa meja itu adalah milikku.
Aku sempat mendengar seseorang berkata “cowok membosankan” saat aku berjalan menuju tempat dudukku, tempat perlindunganku, dan juga benteng pertahananku.
“Baiklah mari kita mulai pelajarannya.”
Pelajarannya sangat membosankan, aku bisa merasakan sesekali ada tatapan para siswi yang sedang diam-diam melihatku. Aku hanya mengarahkan mataku ke papan tulis tempat guru sedang menulis materi pelajarannya. Dalam pikiranku aku berusaha keras agar bisa tenang di hari pertamaku ini karena aku tidak ingin terlalu mencolok. Sampai akhirnya waktu istirahat tiba ketika aku masih memikirkan banyak hal tentang sikap apa yang harus kutunjukan kepada mereka.
“Namamu Kazuki, kan?” Sapa seorang pria yang tiba-tiba sudah berada di dekatku.
Aku bisa melihat di belakang orang itu ada beberapa pria lagi yang sedang melihat ke arahku. “Ah ya, ada apa?” Aku menjawab dengan suara yang tenang.
“Mau ke kantin bersama kami?”
“Terima kasih. Tapi, aku masih ada urusan yang harus kulakukan di ruang guru.”
“Baiklah, kalau butuh apapun bilang saja.”
“Aku menghargainya.”
Sungguh sebenarnya aku tidak bermaksud untuk jahat atau apapun itu. Tapi, aku lebih nyaman jika sendiri. Sebuah perasaan yang sangat menyedihkan memang, bahkan bagi orang lain pun kesendirian mungkin sangatlah tidak baik untuk dilakukan. Tapi, semua hanya menunggu waktu sampai semua orang bisa memahami perasaanku dan apa yang ada di dalam pikiranku.
Dan begitu seterusnya, aku hanya menghindari kontak dengan mereka, sampai akhirnya mereka mulai menjauhi ku. Aku tidak terluka, karena memang aku yang menginginkannya.
“Baiklah murid-murid hari ini kita kedatangan murid baru lagi,”
“Namaku Haru Izumi, Mohon kerja samanya, dan juga salam kenal!”
Semuanya tampak senang akan kedatangannya, begitu juga dengan para gadis, aku sempat berpikir sudah berapa abad para makhluk ini menantikan kedatangan pria di kelas.
“Kau bisa duduk di belakang Kazuki-kun.” Guru itu menunjuk ke arah tempat duduk kosong yang ada di belakangku.
Izumi menjawab dengan senyum lebar, “Baiklah,” lalu berjalan menuju ke tempat duduknya. Sesaat sebelum dia mencapai tempat duduknya, dia berhenti dan melihat ke arahku.
“Bolehkah aku bertukar tempat duduk denganmu? Penglihatanku agak buruk.” Izumi memohon dengan telapak tangan disatukan seperti sedang berdoa di kuil.
“Silahkan saja,” jawabku lalu berdiri.
Setelah itu guru memulai pelajaran.
Sekarang sudah waktunya pulang ke rumah, dalam hatiku aku merasa cukup tenang besekolah disini. Atau lebih tepatnya mungkin aku bisa bersantai disini karena dari pengalamanku di hari pertama ini semua tampak normal bagiku. Semua juga sangat baik dan tidak terlalu peduli akan keberadaanku disini. Mungkin mereka semua sudah terbiasa menerima murid pindahan di sekolah ini.
Aku bangkit dari kursiku dan merapikannya. Lalu, berjalan ke arah pintu sampai seorang teman kelasku datang menghampiriku.
“Kazuki-kun, hari ini giliran mu piket. Jangan pernah mencoba untuk melarikan diri.” ucapnya sambil tangannya menarik bagian belakang seragamku.
“Aahh.” Baru saja di buat jadwal piketnya, dan aku sudah menjadi yang pertama mencobanya. Yah, walaupun bukan aku saja yang melakukannya.
“Jangan mengeluh.”
“Ya baiklah aku mengerti.”
Aku berjalan lagi ke tempat dudukku dan menaruh tasku di atas mejanya. Aku bisa melihat dari luar jendela banyak anak yang sedang berbicara dengan temannya sambil berjalan pulang atau seseorang yang sedang mengayuh sepedanya untuk pulang. Aku malas dan ingin pulang pikirku. Tapi semua itu hanya bisa menjadi mimpi untuk saat ini. Aku lalu bersiap untuk melakukan piket. Sapu, ember berisi air, alat pel lantai, dan mungkin aku butuh seragam maid yang bisa kukenakan agar bisa melakukan ini dengan baik.
“Kau juga piket Haru-kun!”
“Eh, aku juga?” Tanyanya. Yah, karena dia baru masuk setelah jam istirahat, dia jadi belum tahu kalau tadi petugas kelas sudah mencatat namanya sesaat setelah dia datang kesini dan memperkenalkan dirinya.
Wanita itu hanya mengangguk sambil tersemyum dan menepuk bahu pria itu.
“Ya baiklah.” Dia terlihat terpaksa menerimanya.
Beberapa saat kemudian aku bersama dengan yang lainnya langsung melakukan hal apapun yang bisa di sebut piket. Ini pertama kalinya aku piket di kelas. Saat di SMP biasanya aku hanya mengamati temanku yang piket dan aku hanya duduk sambil melihat ke luar jendela kelas sambil sesekali membersihkan papan tulis, butuh waktu satu jam untukku membersihkan seluruh papan tulis. Jadi biasanya temanku menyuruhku untuk duduk saja dan dia yang melakukan semuanya. Setelah beberapa saat kami membersihkan kelas akhirnya semuanya dapat diselesaikan, dan sekarang kelas ini bisa di sebut sebagai kelas terbersih di sekolah ini. Karena, kelas ini sudah mendapatkan perlakuan khusus dariku untuk pertama kalinya.
“Ok, waktunya pulang.” ujarku sambil menyeka keringat di keningku.
“Eh kau langsung pulang?” Tanya Izumi.
“Memangnya kenapa?” jawabku dengan suara pelan.
“Boleh aku tau rumahmu dimana?”
“Hah? Untuk apa?”
Aku langsung mengambil tasku lagi setelah merapikan semua alat-alat piket yang tadi kugunakan. Dan aku langsung beranjak pergi dari kelas dengan Izumi melangkah tepat disampingku.
“Tidak, hanya saja aku ingin pulang bersama denganmu jika rumah kita searah.“ Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Memangnya kau ini apa? gadis yang takut pulang sendiri?”
“Bukan begitu maksudku...”
Dia terlihat sedikit kecewa dengan jawabanku, tapi aku pikir tidak apa jika memberitahunya. Mungkin saja ternyata rumah kami berjauhan dan berlawanan arah. Aku tertarik melihat ekspresi yang di buatnya jika mengetahui hal itu.
“Di seberang jembatan Tooji.” Ucapku.
“Kebetulan sekali, rumahku di sekitar sana, lebih tepatnya dekat stasiun”
“Oh” Jawabku singkat
Sial, ternyata tebakanku salah, rumahnya dekat dengan rumahku. Sekarang apa yang harus kulakukan?
Dia lalu memulai pembicaraan lagi. “Jadi bagaimana? Mau pulang bareng?” Tanyanya dengan wajah berharap.
Aku hanya bergumam sambil menuruni anak tangga. Jujur saja, ini bukan kali pertama ada seseorang yang mengajakku untuk pulang bersama, tapi aku merasakan jika Izumi akan berbeda dengan yang lain yang hanya membicarakan tentang dirinya sendiri atau kehidupannya sendiri jika sedang berjalan pulang bersama teman.
“Jadi tidak mau ya?” Tanyanya.
Dia sempat terdiam di atas tangga dan aku tetap melangkah turun. Saat aku sedang mengambil sepatu di lokerku, aku mendengar suara keras dari arah tangga yang baru saja kuturuni. Dan saat aku lihat, ternyata itu Izumi yang tergeletak di tanah. Dia langsung bangkit dan tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa, padahal aku bisa melihat ada darah yang keluar dari hidungnya.
“Hey anak baru! Jadi pulang tidak?” Ucapku sambil tersenyum kecil. Ada sesuatu di pikiranku yang mengatakan kalau anak ini menarik.
“Ah, ternyata mau!” Ujarnya sambil mengambil buku dari tasnya, mungkin dia mau menyobek kertas dari buku itu lalu menyeka darah di hidungnya.
“Kalau kau lama akan kutinggal.” Kataku sambil berjalan ke arah pintu keluar.
Izumi mulai berjalan lagi setelah menyeka hidungnya dengan kertas “Hei! Tunggu aku, aku berdarah.”
“Ya aku tahu.”
“Kau punya tisu?” Tanyanya sambil berusaha terus membersihkan darah yang keluar dari hidungnya.
“Tidak ada.” Jawabku sambil terus melangkah. Haru Izumi, aku merasa... aku bisa akrab dengannya. Walaupun mungkin aku akan melupakannya. Aku berjalan pulang sambil menatap langit sore yang berwarna jingga dengan seorang pria yang sedang memasukkan kertas ke dalam hidungnya untuk menghentikan darah yang keluar akibat terjatuh di tangga. Mungkin ini sedikit.... Menarik.
Waktu berlalu dengan cepat sampai tidak terasa sudah sebulan sejak aku masuk ke kelas ini. Aku mungkin sudah terbiasa di sekolah ini dan juga mungkin sudah bisa beradaptasi dengan pandangan para gadis setiap aku masuk ke kelas.
Hari ini aku berangkat ke sekolah lebih pagi dari yang biasanya. Kalau bukan karena sifat bodoh kakakku yang membangunkanku dengan caranya yang tidak kalah bodoh, yaitu dengan menyelinap masuk ke dalam selimutku saat aku tertidur, mungkin sekarang aku masih berada di kasurku dan sedang bermimpi. Lebih baik seperti ini, daripada aku tetap berada disana dan menjadi gila karena sifat bodohnya. Lagi pula kakakku dan aku hanya tinggal berdua dirumah, orang tuaku tewas dibunuh saat aku masih di Tokyo. Dan kakakku juga sering pergi keluar dan pulang larut malam. Terlebih lagi aku tidak mau sampai terkena pukulan dari orang yang sudah menjuarai beberapa perlombaan bela diri seperti kakakku. Dan di perjalanan aku berpapasan dengan Izumi dan dia langsung berlari menghampiriku.
“Hey kato, kau datang pagi juga ya?”
“Oh Izumi, aku hanya ingin melanjutkan tidurku dikelas nanti.” Jawabku sambil terus berjalan melewatinya.
“Eh? Memangnya kenapa?” Aku bisa melihatnya menjadi bingung saat aku mengatakannya.
“Si Bodoh itu, lagi-lagi dia bertindak yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Dia diam-diam masuk ke dalam selimutku dan langsung tidur di atasku.
“Kakakmu? Yang benar?”
“Apa untungnya aku berbohong?”
Izumi langsung berjalan disampingku sambil tertawa. “Kau pasti kerepotan. Apa kau melakukannya dengan kakakmu?”
“Kau mau darah keluar dari hidungmu lagi? Aku akan pastikan bukan karena jatuh dari tangga, tapi jatuh dari atap sekolah.” Jawabku dengan tatapan dingin.
“KAU MAU MEMBUNUHKU!?”
Di kelas seperti biasanya aku hanya menaruh kepalaku di atas meja karena masih sangat mengantuk. Izumi duduk di sampingku sambil membaca manga sambil sesekali tertawa. Bagaimana anak itu bisa selalu bersemangat jika di dalam kelas.
 “Kato, sepertinya nanti akan ada murid pindahan yang masuk ke kelas ini?” Ujar Izumi sambil terus membaca manga dan membalikkan halamannya.
“Hmm... Biarkan saja, aku mau tidur.” Kataku dengan nada mengantuk.
“Kau ini...”
Bel berbunyi. Aku tidak bisa melanjutkan tidurku dengan benar karena suara kelas dan suara Izumi yang tertawa di sampingku.
“Pagi murid-murid!” Ucap guru.
“Pagi.”
“Sepertinya kita akan mendapatkan teman baru lagi, dan juga dia pindahan dari Tokyo sepertimu Kazuki-kun.”
“Ah, Begitukah?” Jawabku dengan suara yang aku barengi dengan menguap.
“Baiklah, silahkan masuk dan perkenalkan dirimu.”
“Baik...” Ucap seseorang dar luar kelas.
Lembut sekali suaranya, sepertinya aku pernah mendengarnya.
“Perkenalkan, namaku Ayumi Mira, aku pindah ke sini karena alasan pribadi, salam kenal”
“Baiklah Ayumi-san, silakan duduk di tempat duduk yang kosong, ah tinggal yang satu itu di paling belakang, sebelahnya Kazuki-kun. Tolong yang akrab ya sesama pindahan dari Tokyo”
“Baik”
Aku melihatnya berjalan ke arah tempat duduk di sebelahku. Dia sangat cantik, di tambah dengan suara lembutnya. Sepertinya aku pernah merasakan hal seperti ini. Tapi aku sama sekali tidak ingat atau lebih tepatnya tidak mau mengingat karena di samping aku merasa nyaman, juga perasaan sakit yang ada di dalam hatiku ketika aku mengingat sesuatu yang berada masa lalu.
“Anu, hai namaku Ayumi Mira.” Ucapnya ketika dia berhenti di sebelahku sebelum duduk di tempatnya.
“Barusan kau juga bilang.” Jawabku
“Benar juga. Kalau begitu, Namamu siapa?”
“Kazuki Kato.” Ucapku seraya mengalihkan pandanganku darinya.
“Kazuki ya... Salam kenal.”
Aku bisa merasakan senyuman hangat darinya walaupun aku tidak melihatnya. Baru kali ini aku merasakan hal seperti. Seperti perasaan yang sudah lama hilang dan telah menemukan jalan pulang ke dalam diriku.
“Ya... yang lebih penting duduklah, pelajaran akan segera dimulai.” aku berusaha menyembunyikan perasaan yang sedang kurasakan.
“Ah iya, maaf.”
Kenapa dia? terlihat sekali kalau dia sedikit agak canggung. Mungkin dia butuh sedkit bantuan karena dia sama canggungnya saat pertama kali aku pindah walaupun tidak sampai sepertinya. Aku mungkin harus memberanikan diri untuk bicara padanya.
“Ayumi-san... ya?” aku memanggilnya tanpa melihat ke arahnya.
“I... Iya.” Jawabnya.
“Kau terlihat sekali kalau sedang gugup sekarang.”
“Apa benar begitu?”
“Ya. Jadi kusarankan kau agar bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.”
“Baiklah akan kuingat saranmu. Dan juga, bukankah kau berasal dari Tokyo juga, Kazuki-kun?
“Hmm... Begitulah.”
“Apa kau juga canggung saat baru pindah kesini?”
“Hmm? Tidak juga.”
Kebohongan begitu saja keluar dari mulutku. Walaupun aku seperti ini, aku tetaplah manusia biasa yang pasti merasa canggung saat berada di tempat baru dan di hadapkan dengan orang-orang yang belum pernah ku kenal sebelumnya.
“Begitukah? Lalu, kenapa kamu pindah kesini?”
“Sama sepertimu, aku juga punya alasanku sendiri.”
“Be... Begitukah?”
Aku menjawabnya dengan bergumam. Dan tiba-tiba aku merasakan kalau suasananya menjadi sedikit agak suram. Apalagi dia kelihatan sangat tertarik dengan kepindahanku dari Tokyo. Dalam hatiku aku sangat tidak ingin membicarakan apa-apa soal Tokyo. Karena itu hanya akan membuat dadaku menjadi sesak, itu terjadi karena ada banyak kenangan buruk yang teringat olehku saat seseorang membahas soal kota Tokyo.
“Ah iya, bisakah kau tidak membawa-bawa Tokyo saat berbicara denganku?”
“Kenapa memangnya?” Jawabnya dengan wajah bertanya-tanya.
“Kau tidak perlu mengetahuinya.”
“Apakah ada hubungannya dengan alasanmu pin...”
Dadaku terasa sakit. Aku tidak tahu apa ini, kenapa rasanya begitu sakit? Aku hampir membalikkan badanku untuk mengeluarkan amarahku pada gadis yang ada di sebelahku sampai aku melihat Izumi datang ke arahku.
“Anu... Ayumi-san, maaf tapi tolong diamlah. Kato sudah tidak ingin membahas tentang itu.”
“Baiklah maaf.”
Tepat waktu. Cuma itu yang ada di pikiranku. Izumi memang tahu semuanya dan dia tidak pernah membahas soal itu. Perasaan sakit itu semakin lama semakin menghilang, aku sudah bisa mengatur napasku lagi dan sudah tidak ada amarah lagi di dalam hatiku. Izumi memang teman yang bisa di andalkan. Walaupun kelihatannya dia bodoh, tapi dia teman pertamaku disini. Aku sedikit merasa beruntung mengenalnya.
“Ngomong-ngomong, namaku adalah Haru Izumi.” Ucapnya kepada Ayumi.
“Sahabatnya Kazuki-kun?”
“Begitulah.”
“Hmm...”
Bel istirahat berbunyi, guru sudah meninggalkan kelas dan aku bersiap untuk makan siang. Di saat aku ingin memanggil Izumi untuk ke kantin bersama, aku melihat di sana sudah berdiri Ayumi yang sedang berbicara padanya. Aku tidak bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Biarlah, lagi pula aku juga tidak berniat mengetahuinya. Lebih baik aku segera ke kantin. Mungkin nanti Izumi menyusulku setelah mereka selesai bicara.
“Izumi-kun ada waktu?”
“Ayumi-san ya... Ada apa?”
“Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya ingin bertanya tentang sesuatu.”
“Tidak masalah. Lalu, apa yang ingin kau tanyakan?”
“Sepulang sekolah nanti apa kau & Kazuki-kun ada rencana?”
“Kalau aku sih tidak, dan Kato juga biasanya langsung pulang begitu saja.”
“Begitu, ya? Kalau begitu apa aku bisa aku minta tolong sesuatu.”
“Apa itu?”
“Tolong katakan kepada Kazuki-kun kalau aku menunggunya di taman sekolah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya”
“Hmm, Penyataan cinta?”
“Bukan begitu! Aku hanya ingin membicarakan sesuatu dengannya.”
“Baiklah, Akan kuusahakan.”
“Benarkah? Terima kasih banyak Izumi-kun.”
“Tenang saja. Dan juga, kuharap itu adalah hal yang bagus untuknya.”
“Maksudmu?”
“Bukan apa-apa... Maaf aku harus segera pergi. Kato pasti sedang menungguku di kantin. Sampai nanti!”
Saat aku bersiap pulang, tiba-tiba Izumi menghampiriku. Biasanya dia langsung menungguku di loker.
“Hey Kato, kau ingin pulang?” Tanyanya.
“Menurutmu?” Jawabku dengan sedikit ketus.
“Kau ada rencana sepulang sekolah ini?”
“Ada.”
“Apa itu?”
“Tidur.”
Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang kesal akan jawabanku. Tapi dia sudah terbiasa dengan sikapku yang seperti ini. Mungkin orang lain akan langsung benci dengan orang itu jika di jawab dengan dingin dan tidak melihatnya saat berbicara dengannya. Tapi Izumi sepertinya sudah bertemu dengan banyak orang dan dia sudah tahu cara menghadapi berbagai macam sikap yang ditunjukkan orang lain kepadanya.
“Baguslah kalau begitu, ada seseorang yang menunggumu di taman. Jadi jangan sampai melewatkannya.”
“Hah? Siapa? Penculik? Dan juga, bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku ada rencana sepulang sekolah ini?”
“Tidak perlu rencana untuk bisa tidur. Sudahlah, datang saja dan lihat sendiri. Dia bilang ada suatu hal penting yang ingin di bicarakannya denganmu.”
“Hal penting?”
“Ya begitulah katanya, sudah cepat sana!”
“Ah, merepotkan saja.” Aku melihatnya dengan tatapan sebal sambil melangkahkan kakiku keluar kelas.
Walaupun aku sangat ingin menolaknya, tetap saja aku sedikit penasaran dengan siapa yang mau bertemu denganku dan apa yang mau dibicarakannya.
 Sesampainya aku disana aku sedikit kagum karena taman ini tidak buruk juga. Baru sekali ini aku pergi ke sini dan biasanya aku hanya melihatnya dan tidak pernah ke sana. Tapi sekarang aku tahu bahwa disini sangat indah. Pohon yang rimbun, bunga, kolam, semuanya yang kau pikirkan tentang taman ada disini dan terlihat sangat menakjubkan. Aku hanya melihat ada seorang wanita yang sedang duduk manis dan sedang besenandung di depan kolam, dan dari suara lembutnya pun aku sudah tau siapa dia. Pasti dia yang ingin bertemu denganku.
“Ayumi-san, Kau ada perlu denganku?” Kataku sambil berdiri di belakangnya.
“Ayumi saja sudah cukup.”
Walaupun dia tidak membalikkan badannya, tapi aku bisa melihat wajahnya pada bayangan air kolam tepat di depannya. Sangat cantik, ditambah dengan warna jingga dari air kolam yang merfleksikan warna langit aku tidak bisa mengelak kalau dia memang sangat cantik.
“Baiklah, jadi ada apa?”
“Aku ingin bertanya soal alasan mu pindah kesini.”
“Keras kepala sekali. Apa untungnya buatmu mencampuri urusanku?”
“Aku hanya ingin tahu, kenapa seakan-akan Tokyo adalah tempat yang paling kau benci.”
“Kau tidak dengar ya tadi? Jangan membahas Tokyo denganku.”
“Apakah ada suatu hal yang membuatmu terganggu saat mendengar kata Tokyo, atau itu membuatmu ingat dengan kenangan masa lalumu?”
“Diamlah. Kalau hanya itu yang ingin kau bicarakan, kita akhiri saja ini. Bagiku itu hanya hal yang tidak penting.
Seketika itu juga aku langsung beranjak pergi dari sana. Aku menyesal datang kesini hanya untuk merasakan perasaan yang menyakitkan. Sangat kontras rasanya mengingat aku sedang berada di taman yang indah hanya berdua dengan gadis cantik di depanku. Sesaat sebelum aku mengambil langkah pertamaku, dia mengatakan sesuatu lagi.
“Apa kau ingin lari? Dan melupakan segala masalahmu di masa lalu.” Tanyanya dengan tetap tidak membalikkan tubuhnya.
“Memangnya apa hubungannya denganmu? Berhentilah menanyakan hal itu.”
“Karena aku yakin, kau sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagimu.”
Aku memang sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Orang tuaku. Mungkin itu juga yang membuatku seperti sekarang ini. Aku tidak mau membuat ikatan dengan siapapun lagi karena aku tahu sakitnya kehilangan orang yang mempunyai ikatan denganku.
“Walaupun kau bilang kau ingin melupakannya, tapi itu tidak mudah kan?”
Aku merasakan perasaan nyaman setiap dia berbicara padaku. Aku tidak tahu yang aku pikirkan. Tapi aku tahu kalau gadis ini mungkin bisa memahamiku dan hanya ingin membantuku. “Kau benar. Ingatan itu selalu muncul kembali di pikiranku.”
“Jadi, apa kau mau menceritakannya?”
Baiklah. Mungkin aku bisa mempercayainya, walaupun berat untuk mengatakannya. Aku lalu duduk di sampingnya dan melihat ke kolam. Aku bisa melihat senyuman tipis dari bayangan wajahnya yang ada di air kolam. “Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagiku. Orang tuaku... Mereka tewas dibunuh oleh pencuri yang datang ke tempat tinggalku... Tepat didepan mataku.”
Sakit, Sakit, Sakit..
“Aku hanya berpikir, kenapa itu terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan mereka? Kenapa aku dibiarkan hidup? Kenapa bukan aku saja yang mati?”
“Apa kau menyesalinya?”
“Apa aku terlihat seperti itu?” Jawabku dengan terus merasakan sakit di dadaku.
“Bukankah itu yang selalu terpancar dari dirimu?”
“Mungkin.”
“Kau tidak perlu menyesalinya... Kau tidak salah.”
Sakit, Sakit, Sakit, hatiku rasanya sangat sakit.
“Kalau perlu aku bisa menjadi teman curhatmu.” Tanyanya sambil melihat ke arahku.
“Kau pikir aku habis menyatakan cinta pada seorang gadis dan di tolak karena dia sudah berpacaran dengan Izumi?”
“Hahaha.”
Tiba-tiba rasa sakit yang sejak tadi kurasakan perlahan mulai menghilang hanya dengan mendengar suara tawanya. Dan aku juga tersenyum tipis saat mendengar tawanya tepat di sampingku yang perlahan membuat perasaanku menjadi lebih tenang.
“Apa itu sakit?”
“Apanya?” Jawabku. Aku melihat ke arahnya. Aku sangat kaget karena dia belum menolehkan wajahnya lagi ke depan dan masih melihatku. Wajahku dengan wajahnya sekarang hanya berjarak 10 centimeter. Aku bisa melihat jelas matanya yang sangat indah. Di dalam mata itu aku juga bisa melihat diriku sendiri seperti aku sedang berbicara dengan diriku sendiri.
“Kalau sakit bilang saja sakit. Kau tidak perlu menahannya”
“Haha, kau seperti bisa melihatnya saja.”
Aku tertawa, setelah sekian lama aku bisa tertawa dan sedikit melupakan rasa sakitku. Tapi, air mataku tiba-tiba mengalir. Aku tidak tahu ini air mata kesedihan atau kebahagiaan. Yang aku tahu, air mata yang mengalir saat ini adalah air mata yang selama ini aku tahan agar tidak mengalir keluar.
“Perlu sedikit pelukan?”
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Aku lalu refleks menyeka air mataku, dan langsung melihat ke arah kolam lagi.
“Hah? Itu tidak perlu.” Jawabku dengan tenang.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhnya semakin mendekat ke arahku, dan dia melingkarkan tangannya ke arahku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aroma dari parfum yang di pakainya melekat erat di hidungku. Aroma yang sangat  menenangkan.
“Bagaimana?”
“Sedikit... Lebih tenang.”
“Baguslah.”
Aku bisa merasakan hembusan napasnya. Aku juga bisa mencium wangi tubuhnya. Aku seperti terbangun dari tidur panjangku. Seolah bayangan dari diriku yang terkurung oleh masa lalu telah bebas dan pergi untuk selama-lamanya. Aku merasakannya, aku bisa merasakan perasaan bahagia keluar dari dalam hatiku. Aku bisa merasakan kehangatan yang diberikan gadis ini. Aku pun tidak memikirkan kalau gadis ini bukan siapa-siapa dan baru saja ku kenal. Aku terhanyut di dalam pelukannya, jauh lebih dalam.
“Kau tiduran lah di pangkuanku.”
“Hah? Untuk apa?”
“Lakukan saja.”
“Ba... Baiklah.”
Kehangatan yang di berikan Ayumi kepadaku sangat terasa bahkan sampai ke dalam hati dan pikiran ku. Mungkin ini yang namanya bahagia.
“Ayumi, kenapa kau melakukan semua ini?”
“Karena... Aku tidak ingin membiarkan kau terus merasa sendirian di dunia ini.”
“Memangnya kenapa kau begitu peduli denganku?”
“Hmm... mungkin karena kamu sangat berarti bagiku.”
“Padahal baru sekali ini kita bertemu, tapi kau sudah menganggapku seperti itu.”
“Tidak, kamu sudah sejak lama menjadi sesuatu yang berarti bagiku, apa kau tidak ingat?”
“Hmm, apa maksudmu?”
“Mungkin dengan ini kamu akan ingat.”
Dia lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku dan mengucapkan kata yang tidak asing lagi untukku. Kata-kata yang sudah hampir aku lupakan karena kesendirianku selama ini.
Kamu tidak akan merasa senang jika terus-menerus bergantung kepada orang lain, kamu harus menentukan jalan mu sendiri.
 “Jadi bagaimana sudah ingat?”
Aku sekarang mulai mengingat kenangan saat aku di SMP dulu. Saat aku masih di SMP aku tidak seperti sekarang ini. Aku pria yang punya banyak teman, pintar, atletis, dan banyak gadis yang suka padaku karena semua itu. Aku ingat sejak SMP banyak gadis yang suka mengirimkan surat dengan memasukkannya ke laci mejaku atau lokerku. Tapi aku tidak pernah membalas semua surat itu. Bahkan, aku tidak pernah melihat dari siapa surat itu. Tapi ada satu surat yang sangat menarik perhatianku karena bukan berisi pernyataan cinta atau kata-kata tak berguna lainnya. Di dalamnya terdapat kata yang sesuai dengan kehidupan dan dengan apa yang sedang kurasakan saat itu. Itu tepat setelah aku kehilangan kedua orang tuaku. Dan kata yang diucapkan Ayumi barusan adalah kata yang paling berkesan dari si pengirim surat itu. Dan sekarang, sang pengirim surat itu sudah di depan mataku dan sedang memangku kepalaku.
“Jadi lebih menarik kan?” Tanyanya sambil melihat ke arahku.
“Pantas saja. Aku seperti pernah melihat kata-kata yang kau ucapkan tadi.”
“Kenapa memangnya?”
“Kata-kata itu sangat berkesan bagiku. Apalagi jika kata-kata itu dibacakan langsung oleh orang yang menulisnya.”
“Be... Benarkah?”
“Iya.”
Aku melihat langit dan sadar bahwa aku sudah cukup lama di taman ini, sekarang sudah mulai gelap. Aku tidak bisa berbohong bahwa sekarang aku sedang ketakutan karena sekarang pasti kakakku menunggu dirumah dengan wajah yang tidak akan pernah bisa kubayangkan.
Aku berdiri saat itu juga. “Se... Sepertinya sudah mau malam, mau pulang?” Tanyaku dengan tenang.
“Ya.”
Dia tersenyum dengan sangat tulus. Aku merasa bersalah sudah kasar padanya saat baru pertama bertemu. Sekarang aku akan mengingat satu hal. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya.
Kecuali Kakakku dan Izumi tentunya.
Aku mulai berjalan dengan Ayumi disampingku. Rumahku harus melewati stasiun, aku mengira dia akan menuju stasiun untuk pulang. Tapi dia terus mengikutiku tanpa berbicara apa-apa dan hanya melihat sekeliling jalan yang kami lalui. Aku mengira rumahnya searah dengan rumahku dan mungkin saja rumahnya lebih jauh lagi dari rumahku, jadi aku tidak menanyakannya. Dan saat aku berhenti di depan rumahku, Ayumi sempat berhenti sejenak. Tapi, dia sedikit melangkah lagi lebih jauh dan berhenti di depan rumah yang berada tepat di sebelah rumahku. Aku sedikit bingung dengan apa yang dilakukannya.
“Kenapa kau berhenti? Kau mau kuantar sampai rumah?”
“Aku sudah sampai.” Jawabnya sambil menunjuk ke papan nama di rumah tersebut.
“Hey, hey, jangan bilang...”
“Benar, mulai sekarang aku adalah tetanggamu, mohon bantuannya ya.”
“Yang benar saja?”
“Benar tahu.”
Aku sedikit terkejut dengan itu. Aku sempat mendengar ada tetangga baru dari Kakak pagi tadi. Tapi aku tidak menanyakan apapun tentang orang yang pindah kesebelah rumah kami.
“Sepertinya kepindahanmu itu hal yang sudah di atur. Lalu, maksud alasan pribadimu itu sendiri apa?”
“Hehe, kamu menyadarinya ya? Alasan ku pindah kesini itu adalah untuk menghapus Penyesalan Kazuki Kato-kun. Karena setelah kudengar kabar duka itu, aku juga mendengar kalau kau benar-benar berubah. Kau tidak ingin berbicara dengan orang lain, jarang keluar rumah, dan jadi sering melamun.
“Memang benar aku masih sangat terpukul saat itu... Hm? apa maksudnya Penyesalanku?”
“Hehe, Dah!”
“Tung...... Dasar, kau sampai mengikutiku kesini hanya untuk hal yang tidak penting!?”
Dia hanya tersenyum sambil melambaikan tangan dan memasuki rumah. Aku juga membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah.
“Katooo... Kaukah itu?” Suara kakakku dengan sangat keras dari ruang tengah.
“...........” Setelah mendengar suara itu, aku pun segera memohon. Tuhan, berikan aku kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.

- Copyright © Yorozuya Blog (万事屋ブログ) - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -