Popular Post

Popular Posts

Recent post

Archive for Januari 2017

Suara nada dering dari ponselku membuatku terbangun dari mimpi yang sedang diputar di alam bawah sadarku.
Aku mengambil ponselku dimeja yang berada di sebelah tempat tidur dan nama Haru Izumi tertera dilayar ponsel.
Entah kenapa aku tidak begitu terkejut kalau Izumi yang menelponku sepagi ini. Hanya Izumi yang paling memungkinkan.
“Apa kau tidak punya kesibukan lain di hari libur ini?”
“Jadwalku selalu penuh, kau tahu?” Aura sombongnya dapat kurasakan dengan hanya mendengar suaranya saja.
“Teruslah mengkhayal. Jadi, ada apa kau menelponku sepagi ini?”
“Apa kau melupakannya?”
“Aku tidak ingat pernah berjanji mau di telepon olehmu sepagi ini.”
“Aku tebak kau juga tidak ingat kalau kita ada rencana hari ini?”
“Rencana?”
“Dasar kau ini, bisakah kau lebih perduli dengan sekitarmu?”
“Itu merepotkan. Dan juga, terlalu perduli akan sesuatu itu malah akan membawa banyak masalah.”
“Apa kau sudah berubah menjadi orang yang pesimis hanya dalam semalam?”
“Aku tidak perduli. Yang lebih penting, sebenarnya apa yang akan kita lakukan?”
“Kita akan berkunjung ke Desa Shibazuku.”
“Desa Shibazuku? Kalau tidak salah itu adalah tempat yang terkenal dengan hal-hal mistisnya.”
“Benar, kita akan melakukan observasi pada desa itu. Aku tidak tahu siapa yang menyarankan untuk pergi kesana. Jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan hal-hal yang berbau mistis.”
“Aku tidak pernah tahu ada hantu yang takut pada hantu juga.”
“Berhentilah mengejekku dan cepatlah bersiap-siap.”
“Ya..ya.”
Setelah menutup telepon aku langsung beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Sehabis mandi dan berpakaian serta menyiapkan beberapa perlengkapan untuk dibawa ke desa itu, akupun berjalan turun ke arah ruang tengah untuk sarapan sebelum berangkat.
 Seperti biasa, kakakku sudah berada disana ditemani secangkir kopi kesukaannya dan majalah wanita.
“Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu.” Ucapnya sambil menunjuk kearah roti dan segelas kopi yang ada diatas meja didepannya.
“Apa itu aman?”
“Kau coba saja dulu, dengan begitu kau bisa memastikannya sendiri.”
“Apa aku perlu menulis surat wasiat dulu?”
“Makan saja cepat sebelum roti itu dingin.”
Setelah itu aku mengambil sarapan yang sudah dibuatkan olehnya dan duduk disofa yang sama dengan kakakku.
Aku biasanya sarapan sambil membaca koran untuk mengetahui apa saja yang terjadi diluar sana, tapi hari ini aku sedikit agak malas untuk membacanya dan akhirnya aku memakan sarapanku sambil menonton berita di TV.
Berita yang ditampilkan kurang menarik perhatianku karena hanya tentang hal-hal yang menurutku tidak penting.
Tapi saat aku ingin mematikannya, ada satu berita yang akhirnya bisa membuatku tertarik, yaitu berita tentang Desa Berhantu Shibazuku.
Tempat itu dijuluki seperti itu karena ada beberapa kasus yang sangat membingungkan, hilangnya beberapa warga dan hewan ternak entah kemana yang sampai saat ini tidak pernah ada yang tahu.
Rumornya mereka semua diambil oleh roh yang menjadi penunggu didesa itu.
“Hmm, jadi masih belum ada yang bisa menemukan kebenarannya ya?” Gumam kakakku yang sepertinya tertarik juga dengan berita ini.
“Ngomong-ngomong, aku akan pergi ke Desa Shibazuku untuk melakukan observasi disana.”
“Benarkah? Kalau begitu namamu juga akan muncul sebagai korban di berita berikutnya.” Dia mengatakan hal yang menyeramkan dengan mulut yang masih penuh dengan roti.
“Jangan pernah mengalihkan pandanganmu dari Ayumi dan yang lainnya, lalu tetap perhatikan keadaan disekitarmu.”
Bagaimana dia bisa memberikan nasihat setelah mengatakan hal yang mengerikan sebelumnya? “Mustahil memperhatikan mereka semua sekaligus dan dengan saat yang bersamaan pula memperhatikan sekitarku.”
“Mudah saja, kau harus berada diposisi yang bisa dengan mudah melihat mereka semua. Seperti berjalan paling belakang pasti akan lebih mudah kan?”
“Tapi begaimana aku memperhatikan keadaan disekitarku saat aku sedang mengawasi mereka?”
“Siapa yang bilang, kau harus melakukan semua itu seorang diri? Ayumi dan yang lainnya akan melakukannya juga, mereka akan memperhatikanmu dan keadaan disekitarnya juga. Lebih banyak mata lebih bagus bukan?”
Memang benar, itu rencana yang cukup bagus untuk keadaan yang merepotkan itu. Kita akan saling mengawasi satu sama lain dengan begitu tidak mudah seseorang untuk melakukan sesuatu kepada kami.
Tapi, semuanya tergantung dari kepintaran seseorang yang berada dibalik kasus ini, bisa saja dia sudah menyiapkan sesuatu untuk menyambut tamu tidak diundang seperti kami ini.
“Dan juga, kalau kau sudah tidak bisa menyelesaikan kasus ini lebih baik segera kembali saja. Lalu, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.” Jelas Kakakku.
“Kau akan datang membantu?”
“Tidak!”
“Maaf, salahku menanyakan sesuatu yang sudah jelas. Aku tidak akan bertanya lagi padamu.”
“Kato.” Panggil Kakakku dan aku menoleh ke arahnya. “Kau tidak boleh terlalu santai, kasus ini sudah lama belum terpecahkan dan juga rumor tentang desa itu sudah tersebar ke segala pelosok tempat.”
Aku belum pernah melihat Kakakku seserius ini sebelumnya, mungkin karena dia mengerti ini cukup berbahaya dia jadi sedikit khawatir dengan kami. “Aku mengerti.”
Tidak terasa sarapanku sudah habis kumakan, dan juga sudah hampir waktunya aku berangkat ke sekolah untuk bertemu dengan yang lainnya.
Akhirnya setelah merapihkan piring dan gelas yang kupakai tadi, aku segera mengambil tasku dan berpamitan pada Kakakku.
“Hati-hati, ingat semua saranku tadi. Dan jangan lupa jika terjadi sesuatu hubungi aku.”
“Baiklah, kalau begitu aku berangkat.”
“Selamat jalan.”
Aku meninggalkan tempat berlindungku yang aman dan malah pergi ke tempat yang bisa mengancam kehidupanku.
Entah kenapa aku bisa jadi seperti ini, tapi yang pasti aku tidak mungkin diam saja saat teman-temanku berada dalam bahaya.
Karena mereka semua adalah hal yang berharga bagiku sekarang. Sesampainya disekolah aku melihat mereka semua sedang memasukan barang bawaan mereka ke dalam mobil.
“Ku kira kau tidak akan datang.” Tampang bodoh Izumi yang menyambutku itu membuatku ingin segera membalikan badan dan langsung pulang.
“Begitukah?” Aku langsung berjalan kembali menjauhi mereka.
Aku bisa tahu Izumi mengejarku dan langsung menahanku untuk berjalan lebih jauh lagi. ”Tunggu, kenapa kau malah pergi bodoh?”
“Hah? Bukankah dari perkataanmu tadi sudah jelas? Kau tidak mengharapkanku untuk datang kesini.” 
“Aku tidak bermaksud begitu. Dan juga, kau tidak perlu mengartikannya sejauh itu.”
“Maaf saja, tapi aku ini orang yang selalu memandang jauh kedalam untuk menemukan arti tersembunyi dari suatu hal.”
“Dan itu merepotkan.”
“Diamlah, orang sepertimu tidak akan mengerti.”
Aku segera menghampiri Ayumi dan yang lainnya melewati si bodoh yang sedang memikirkan arti dari perkataanku barusan. “Hei Kato, apa maksudnya orang sepertiku?”
“Suatu saat nanti kau akan mengetahuinya.” Balasku sambil tersenyum kecil.
Ayumi dan yang lainnya terlihat sedikit tertawa melihat tingkah kami berdua. “Kazuki-kun, kau tidak boleh seperti itu tahu?”
“Tidak apa, dia juga tidak mengerti apa maksudnya itu.”
Mungkin suatu saat dia masih mengingatnya dan mengetahui arti dari perkataanku dia akan langsung memburuku.
“Yang lebih penting, aku ingin tahu siapa yang menyarankan kita untuk pergi ke desa itu?” Tanyaku.
“Aku...” Yuki langsung menjawabnya dengan sangat santai. “Memangnya kenapa?”
“Apa kau tidak memikirkan resikonya nanti jika terjadi sesuatu kepada kita?”
“Tenang saja, kalau kita selalu waspada pasti kita akan selalu aman. Hantu atau apapun itu tidak akan berani mendekati kita.” Suaranya terdengar sangat percaya diri.
“Bukan itu...” Aku menunjuk ke arah Izumi yang sedang sibuk dengan kamera yang dia bawa. “Aku lebih khawatir dengan resiko pergi ke tempat seperti itu dengannya.”
“Kenapa?”
“Hmm... Di dalam novel yang aku baca dengan kasus yang sama, orang bodoh yang terlalu bersemangat sepertinya yang mati lebih dulu. Aku tidak mau dibuat repot dengan kematiannya.”
Sepertinya Izumi menyadari kalau aku dan Yuki sedang memperhatikannya. Dia melambaikan tangan ke arah kami berdua.
“Kalian sedang membicarakan apa? Cepatlah! Aku sudah tidak sabar ingin memecahkan kasus ini. Aku sangat bersemangat untuk menjadi orang yang pertama kali memecahkan kasus ini.”
Aku menghela napas. Yuki memegang bahuku dengan wajah yang sangat serius. “Kau benar! Dia pasti yang mati pertama!”
Setelah kami selesai memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil Mia-Sensei, kami langsung berangkat ke tujuan kami yaitu Desa Shibazuku yang mitosnya berhantu.
Bisa dibilang aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal mistis seperti itu. Diperjalanan kami mencari tahu semua tentang Desa Shibazuku di internet, walaupun yang kami temukan hanyalah beberapa hal yang tidak terlalu mencolok tentang desa itu dan juga beberapa cerita hantu bertemakan mitos didesa itu.
Kami tidak bisa menemukan informasi yang bisa dijadikan sebagai referensi untuk tugas observasi ini. Bisa dibilang kami cukup nekat untuk datang ke tempat yang berbahaya tanpa tahu apapun tentang tempat itu.
“Hei, kira-kira berapa lama kita akan melakukan observasi disana?” Tanyaku pada Yuki.
“Hm? Entahlah, yang pasti kita akan tetap disana sampai kita berhasil memecahkan misteri ini. Karena itulah, jika kau ingin cepat pulang maka kau harus bisa menemukan jawaban dari misterinya.”
“Yang benar saja, dan juga kenapa harus aku sendiri yang melakukannya?”
“Bukankah kau itu anak yang jenius? Makanya tidak heran kau dijuluki detektif hebat Klub Relawan.”
“Apanya yang detektif hebat? Memujiku tidak akan membuatmu mendapatkan apapun, lalu darimana asal julukan aneh yang baru saja kudengar itu?” Aku mengepalkan tanganku sambil melihat ke arah Izumi yang sedang pura-pura tertidur di kursi paling belakang. “Orang itu....”
Saat aku sedang ingin menjahili Izumi, Ayumi bertanya sesuatu. “Mia-sensei, apa kau akan ikut dalam observasi nanti?” 
“Hm... Aku rasa tidak. Aku masih ada urusan lain. Jadi, kalian harus menyelesaikan tugas ini sendiri.”
“Dengan begini kita bisa lebih meresapi kegiatan ini bukan?” Tanya Yuki dengan semangat yang tidak akan pernah aku miliki itu.
Aku pikir kita malah akan meresapi saat-saat terakhir hidup kita. Aku tidak tahu kalau lokasi desa itu akan sejauh ini dari kota Nagasaki. Ayumi dan Yuki juga sudah tertidur, dan Izumi masih belum bergerak juga dari posisi pertamanya.
“Mereka seperti anak kecil yang sedang ingin pergi liburan saja.” Gumam Mia-sensei.
“Mereka memang terlihat sudah dewasa di luar, tapi di dalamnya masih terdapat jiwa anak kecil. Mereka tidak akan memikirkan resiko apapun saat ingin melakukan sesuatu.” Ucapku.
“Hahaha, mungkin kau benar. Tapi, anak-anak seperti merekalah yang membuat orang dewasa tidak bisa menolak permintaannya. Dan membuat kita ingin melindungi mereka apapun yang terjadi.”
“Benar sekali. Karena itulah mereka selalu membuatku kerepotan.”
Mia-sensei hanya tersenyum setelah mendengarnya dan tetap mengemudikan mobilnya. Aku juga pastinya memiliki jiwa seorang anak kecil.
Tapi, bukan anak kecil yang bahagia. Melainkan anak kecil yang sangat menderita karena apa yang dialaminya.
Jika saja aku bisa kembali ke waktu itu dan memperbaiki segalanya. Mungkin sekarang aku juga akan sama seperti mereka.
Aku mencoba untuk memejamkan mata sejenak agar nantinya tidak merasakan kantuk saat observasi.
Dan saat aku hampir terlelap aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh bahuku. Setelah aku membuka mataku dan melihatnya.
Ternyata yang membuatku terbangun lagi adalah Ayumi karena dia bersandar ke bahuku. Entah karena mobil yang berbelok atau karena dia sudah tidak betah dengan gaya tidurnya yang sebelumnya, sampai-sampai dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Ini pertama kalinya aku melihat Ayumi dan yang lainnya saat sedang tertidur. Dan juga, Aku tidak pernah tahu kalau wajah Ayumi saat tertidur bisa menjadi sangat lucu.  Aku mencoba untuk tetap tenang dalam situasi ini.
Jika aku panik pasti Ayumi akan terbangun. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya. Akhirnya aku tetap diam dan kembali memejamkan mataku.
Beberapa menit kemudian aku mulai merasakan kantuk yang menjalar ke seluruh tubuhku, sampai akhirnya membuatku terlelap seketika.
Aku mendengar seseorang memanggil namaku berulang kali. Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya, karena kupikir itu hanyalah imajinasiku.
Tapi entah kenapa, semakin lama suara yang memanggilku itu semakin keras. “Kato! Hey! Bangunlah kita sudah sampai. Kau juga Ayumi-san.”
Setelah mendengar seseorang mengatakan itu, aku mencoba membuka kedua mataku dan melihat asal suara itu.
Ternyata Izumi mencoba membangunkanku yang sedang tertidur lelap. “Bisakah kau tidak memanggil namaku dengan keras seperti itu? Itu menjengkelkan kau tahu?” Ucapku sambil mengusap-usap rambutku.
“Membangunkanmu itu baru hal yang menjengkelkan, dasar.”
Aku mengambil tasku dan beranjak turun dari mobil sampai aku merasakan ada sesuatu yang menempel di bahuku.
Saat aku melihat kearah sesuatu itu, ternyata Ayumi masih tertidur nyenyak di sebelahku. Pantas saja tadi Izumi menyebut nama Ayumi saat membangunkanku.
“Ah, Kato. Bisa kau bangunkan Ayumi-san? Aku sudah mencobanya tadi, tapi sama saja denganmu.” Seru Izumi dari luar mobil.
Apa yang kau maksud sama saja denganku? Dasar dia membuatku terdengar seperti orang yang buruk saja.
Mungkin saja Ayumi hanya terlalu lelah sehingga membuatnya lama tertidur. Sebenarnya aku ini orang yang sangat tidak suka mengganggu orang yang sedang istirahat.
Karena aku ini orangnya suka dengan hal yang menenangkan dan aku tahu bagaimana rasanya di ganggu disaat seperti itu.
“Ayumi, bangunlah. Kita sudah sampai.” Dia hanya merespon ucapanku dengan menggeser kepalanya lebih kearah leherku. Dan tentu saja itu membuatku sedikit terkejut.
“He.. Hey! Ayumi.  Kau dengar? Kita sudah sampai, jadi bangunlah.” Setelah aku mengatakannya Ayumi perlahan membuka kelopak matanya dan mulai mendapatkan kesadarannya kembali.
“Hmm... Apa sudah sampai?” Dia menanyakan hal itu entah kepada siapa.
“Ya, kita sudah sampai.” Dia perlahan menoleh dan melihat ke arahku dan sesuatu yang diluar perkiraanku terjadi.
Wajahku dengan wajah Ayumi hanya berjarak beberapa centi saja. Aku hanya bisa terdiam dan melihat jauh kedalam matanya yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya itu.
Aku sadar kalau situasi ini sangat tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Akhirnya aku langsung menarik wajahku menjauh darinya.
“Ma... Maaf, Karena kau sudah bangun. Ayo kita segera turun.” Ucapku dan langsung beranjak turun dari mobil. Ayumi juga segera turun setelah mengambil tasnya. Aku melihat sekelilingku dan terlihat Desa Shibazuku yang tadi pagi kulihat di TV.
Desa Shibazuku mungkin terkenal karena cerita-cerita seram yang menyertainya. Tapi, kesan pertamaku saat melihatnya langsung ternyata sangat berbanding terbalik dari yang selama ini di tayangkan di TV. Desa yang berada di atas bukit ini terlihat ramah. Hutan yang mengelilingi desa Shibazuku memang memberi kesan menyeramkan pada malam hari, tapi itu sama sekali tak bisa menutupi fakta bahwa desa ini sangat indah.
Sudah hampir satu jam kami berjalan menyusuri desa ini. Tujuan kami hanya satu, yaitu menemukan penginapan untuk beristirahat dan melakukan persiapan untuk melakukan observasi. Karena sudah tidak kuat berjalan lagi, aku memutuskan untuk duduk sebentar pada kursi yang ada di pinggir jalan
“Bagaimana kalian bisa memiliki stamina sebesar ini?” Tanyaku. Itu membuat mereka menoleh ke arahku.
“Bukan stamina kami yang besar, tapi staminamu yang terlalu kecil.” Komentar Izumi. Di wajahnya tidak ada sedikitpun tanda-tanda kelelahan.
Aku tersenyum. Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku. “Untuk kali ini kau benar, Izumi. Aku tidak akan membantahnya. Tapi, percuma saja kita mencari penginapan dengan cara seperti ini.”
“Percuma kenapa?” Tanya Yuki pelan.
Aku menatap langit yang mulai berwarna kemerahan sebelum menjawab. “Penginapan yang pertama kita datangi sedang direnovasi. Apa kau berpikir masih ada penginapan yang lainnya? Dengan cerita-cerita menyeramkan yang menyebar di tempat ini, itu membuat orang tidak akan berkunjung ke sini. Lagipula kita sudah membuktikan dengan berjalan selama satu jam tapi tak menemukan penginapan sama sekali.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Tidak banyak waktu sampai matahari terbenam.” Aku terdiam. Berpikir sejenak. “Bagaimana dengan rumah penduduk? Cari rumah penduduk yang cukup besar, lalu kita minta agar pemiliknya mau menyewakan beberapa ruangannya untuk kita. Itu lebih baik dibandingkan cara seperti ini.”
Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya terlihat menghampiri kami dari jauh dan langsung menyapa kami.
“Maafkan saya, apa kalian sedang mencari penginapan? Bagaimana kalau dirumah saya saja?”
Bukannya menjawab, kami semua justru kebingungan dan saling pandang satu sama lain. “Paman yakin?” Aku memecah keheningan dan menjawab pertanyaan yag masih menggantung itu. “Kami berempat, jadi butuh dua ruangan.”
Pria yang terlihat sudah berumur 50 tahun itu justru tertawa dengan ramah. “Saya tinggal sendiri. Rumah saya juga cukup besar.”
Dia kemudian membungkuk untuk memperkenalkan diri. Namanya adalah Satoyama-san. Walaupun kami lebih muda darinya, tapi Satoyama-san membungkuk dengan penuh rasa hormat.
Dengan cepat kami bergantian memperkenalkan diri. Akhirnya kami menerima tawaran yang diberikan Satoyama-san, atau lebih tepatnya kami tidak punya alasan untuk menolaknya. Lagipula kami semua sudah sangat lelah. Apa ada pilihan lebih baik dari ini?
“Wah... rumahnya memang sangat besar.” Seru Ayumi antusias. Matanya berbinar melihat rumah dengan gaya tradisional Jepang di hadapannya.
Satoyama-san membuka pintu gerbang yang tingginya melebihi kami semua. “Masuklah. Tidak usah sungkan!”
Kami mengangguk dengan patuh. Tanpa pikir panjang kami masuk ke dalam dan mengikuti Satoyama-san sampai ke ruang tamu. Lalu dia menyuruh kami untuk duduk sementara dia mengambilkan kami minum.
Mataku tak pernah berhenti memandangi seluruh ruangan tamu. Aku merasa takjub melihat ruangan yang dipenuhi barang-barang tradisional Jepang yang bahkan aku sebagai orang Jepang tidak pernah melihatnya. Semua barang-barang itu membuat suasana yang sangat klasik... Tentu juga suasana mistis yang sedikit menyeramkan.
Lima menit kemudian, Satoyama-san kembali sambil membawa beberapa gelas minum dan menaruhnya di atas meja. “Silahkan diminum.”
Izumi tanpa canggung langsung mengambil gelas di hadapannya dan meminumnya dengan cepat. Hanya sekejap saja gelas itu sudah kosong lagi. “Rasanya aku hidup kembali. Baru kali ini aku merasakan air senikmat ini.”
Gelak tawa kami semua pecah melihat perilaku Izumi.
“Baiklah, kamar pria ada di sudut lantai bawah. Sedangkan yang wanita ada di lantai atas, kamar kedua di dekat tangga.”
“Terima kasih banyak, Satoyama-san.” Aku berdiri dan membungkuk. Kemudian kami pamit untuk segera masuk ke dalam kamar masing-masing.
Hampir pukul tujuh malam. Setelah mandi, aku berganti pakaian tidur. Saatnya beristirahat. Badanku remuk karena berjalan sangat jauh ketika mencari penginapan. Sayangnya, kata-kata umpatan yang menyebalkan memenuhi langit-langit kamar. Aku refleks berdiri, menutup telinga dengan tangan.
“Jangan berisik, Bodoh!” Aku melempar bantal ke arah Izumi yang sedang menggerak-gerakkan ponselnya di udara.
“Ponselku tidak ada sinyal. Seharusnya aku sudah mengabari orangtuaku saat ini.” Jawab Izumi dengan nada kesal. Lalu menoleh ke arahku. “Kato! Aku pinjam ponselmu.”
Aku segera mengambil ponsel yang kutaruh di dalam tas. Tapi, status yang menampilkan sinyal di ponselku juga tidak ada sama sekali. “Aku juga tidak mendapatkan sinyal. Pasti sedang ada gangguan. Kau bisa coba lagi nanti. Jadi, sekarang tutup mulutmu!”
Izumi menaikkan sebelah alisnya. “Apa mungkin tidak ada menara pemancar di desa ini? Apa sedang diperbaiki? Rusak dihempas angin?”
Aku menghela napas. Pertanyaan Izumi sama sekali tidak dibarengi dengan akal sehat. Walaupun pemancar sinyal di desa ini tidak ada atau hancur, desa ini tak begitu jauh dengan pusat kota. Harusnya pemancar yang ada di pusat kota atau di sekitar desa Shibazuku bisa menjangkaunya.
Ah, sudahlah... tidak usah dipikirkan. Aku kembali berbaring di atas kasur. Menarik selimut, lalu dengan perlahan memejamkan mata. Sekaligus berusaha mengabaikan Izumi yang masih saja terus mengeluh tentang sinyal. Lalu, aku pun tertidur.
Suara bising membngunkanku. Aku meraih ponsel Izumi yang di letakkan di samping kepalanya. Pukul 23:45. Terdengar suara serangga yang saling bersahutan. Aku berjalan keluar untuk mengambil minum.
Tapi, aku melihat Satoyama-san yang sedang duduk termenung di teras sambil menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Dengan perlahan aku melangkah ke arahnya setelah mengambil minum.
“Sedang apa, Satoyama-san?”
Dia menoleh. Entah kenapa wajahnya terlihat begitu terkejut melihatku. “Kazuki-kun? Saya kira hantu. Saya hanya sedang menenangkan hati dan pikiran.”
“Dari apa?” Tanyaku singkat. Aku membuka kaleng minuman yang kupegang dan langsung menghabiskannya.
“Dari kehilangan seseorang yang sangat berarti bagimu. Tiga bulan lalu, anak laki-lakiku, Aoki, pergi kehutan untuk berburu. Tapi, dia menghilang dan tak pernah kembali sampai sekarang. Banyak yang menduga kalau dia tewas karena dimakan hewan buas, tapi tubuhnya tidak pernah di temukan. Saya percaya Aoki masih hidup. Jadi setiap malam aku memandang langit karena aku tahu anakku memandang langit yang sama.”
Aku mengangguk. Kemudian duduk di sebelah Satoyama-san. “Menurut paman, apa yang terjadi pada Aoki-san?”
“Saya tidak tahu, tapi banyak yang mengatakan kalau anakku di culik hantu yang ada di hutan karena dia merusak alam dan sebagainya.”
“Paman mempercayainya?” Aku menatapnya sangat serius. Aku tak menyangka kalau Satoyama-san adalah narasumber yang cocok untuk alasan kami datang ke desa ini.
“Entahlah...” Jawab Satoyama-san pelan. Suaranya kini bergetar. “Jika Aoki masih hidup, kenapa dia tidak pulang ke rumah? Jika dia sudah meninggal, kenapa tubuhnya tidak pernah ditemukan? Berapa kali pun saya memikirkannya, semua itu tidak masuk akal.”
Aku menopang dagu. Rasa kantuk membuatku menguap berkali-kali. Tapi Satoyama-san masih tetap memandangi langit tanpa terlihat mengantuk sedikit pun. Aku menyadari dua kemungkinan tentang hilangnya anak Satoyama-san.
Satu, Aoki dimakan binatang buas dan tubuhnya sulit di temukan karena sudah tercerai berai atau dibawa ke tempat yang sulit dijangkau oleh manusia. Kedua, Aoki sengaja membuat dirinya seolah-olah mengilang di hutan hanya untuk bisa pergi dari rumah.
Aku tidak mengatakan itu pada Satoyama-san. Aku lebih tertarik dengan sesuatu yang lain. “Satoyama-san, apa kau tahu tentang mitos di desa ini? Bisa kau menceritakannya padaku?”
Satoyama-san menggelengkan kepala, tapi dia tetap menjawab. “Mitos itu bermula saat ada penduduk desa yang melihat bayangan hitam ketika sedang melakukan aktivitas di dalam hutan, dan keesokan harinya, orang yang melihat bayangan itu hilang tak berbekas. Setelah kejadian yang sama terus berulang, akhirnya penduduk desa mengambil kesimpulan bahwa siapa pun yang melihat bayangan hitam itu di hutan akan menghilang pada keesokan harinya. Karena itu, semua penduduk desa selalu berpikir dua kali saat hendak masuk ke dalam hutan.”
Aku menghela napas. Tidak sesuai harapan. Satoyama-san hanya memberikan informasi yang sudah aku lihat berkali-kali di televisi tentang mitos desa ini. Apa Satoyama-san menyembunyikan sesuatu?
“Sepertinya aku akan kembali ke kamar.” Aku berdiri dan berbalik. “Terima kasih tentang informasinya. Satu lagi, aku juga percaya kalau anak paman masih hidup.”
Setelah selesai bicara, aku berjalan untuk kembali ke kamar. Tapi saat melewati tangga, aku mendengar suara seseorang yang berlari di lantai atas. Aku mengintip ke arah atas tangga itu, namun tidak ada siapa-siapa.
Kemudian suara langkah kaki itu semakin keras dan semakin keras. Sedetik kemudian, bukannya menuruni anak tangga dengan berjalan, Yuki justru melompat dari lantai atas dan jatuh menimpaku.
Kami tersungkur di lantai. Dada Yuki menekan wajahku dan membuatku kesulitan bernapas.
“Bisa...” Nada suaraku terputus-putus. “Bisa kau menyingkir dariku?”
Yuki refleks berdiri. Wajahnya memerah. “Maaf!”
Permintaan maaf itu tidak bisa menjelaskan kenapa dia berlari-lari pada tengah malam dengan mengenakan piyama.
Olahraga pada malam hari juga ada batasnya. Belum sempat aku bertanya tentang apa yang sedang dia lakukan, Yuki sudah terlebih dulu bicara.
“Aku melihat bayangan hitam di dalam kamar. Bentuknya menyerupai manusia. Aku berlari ke luar kamar, dan dia mengikutiku, jadi aku melompat dari tangga. Untung saja ada kau. Terima kasih.”
Aku sama sekali tidak senang dengan ucapan terima kasih itu. Aku menelan ludah, lalu menatap lantai atas secara perlahan. Setelah memastikan tidak ada siapa-apa, aku berbalik pada Yuki. “Tidak ada siapa pun di atas sana. Kau yakin tidak sedang bermimpi buruk?”
“Tetap saja aku takut. Jangan tinggalkan aku sendiri.” Yuki mulai menangis. Dia langsung memelukku dengan erat.
Aku mengangguk... membiarkan dia memelukku. “Dimana Ayumi? Kau meninggalkannya sendirian? Jahat sekali perlakuan seseorang yang tidak ingin ditinggal sendiri.”
Pelukan terlepas. Yuki menyeka air matanya sebelum menjawab. “Dia sudah tertidur. Aku tidak sempat membangunkannya.”
Tiba-tiba saja aku teringat pembicaraanku dengan Satoyama-san. Tanpa berkomentar lagi aku langsung berlari ke lantai atas.
Bayangan itu gagal mendapatkan Yuki yang melihatnya, jangan-jangan... pikiranku sangat kacau saat berlari menuju kamar yang ditempati Yuki dan Ayumi, aku menggeser pintunya dengan kuat.
Ruangannya sangat berantakan, seperti habis ada perkelahian. Aku melihat ke setiap sudut kamar itu, tapi tidak menemukan Ayumi.
“Ayumi menghilang.” Air mata mulai menuruni pipi Yuki. “Ini salahku... Pasti bayangan itu yang melakukannya.”
Aku mengabaikan Yuki, dan sibuk berdialog dengan pikiranku. Bagaimana caranya bayangan itu membawa Ayumi keluar dari kamar ini? Tidak terlihat tanda-tanda jendela yang habis di buka seseorang, terlebih lagi kamar ini berada di lantai atas.
Satu-satunya cara bayangan itu keluar dari lantai atas hanyalah turun melewati tangga dan keluar melalui pintu depan. Tapi, aku dan Yuki sejak tadi berdiri di bawah tangga dan tidak melihat atau mendengar sesuatu yang aneh.
Satoyama-san datang bersama dengan Izumi. “Ada apa, Kato?” Tanya Izumi.
Aku menjawab tanpa menoleh ke arah Izumi. “Ayumi menghilang. Bukan... tapi dia sudah diculik oleh seseorang.”
Mendengar hal itu Satoyama-san dan Izumi terperanjak kaget. “Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin, Kato?” Izumi memegang kedua bahuku dengan kuat. Terlalu kuat.
Aku menghembuskan napas. Menatap wajah tiga orang yang saat ini sedang kacau,  termasuk aku. Tidak ada suara, aku tidak punya ide harus bagaimana.
Ruangan semakin senyap. Yuki duduk di kasur yang tadi di tiduri Ayumi sebelum menghilang. Satoyama-san sedang melaporkan ini kepada polisi. Sedangkan Izumi duduk bersandar pada pintu.
Aku segera keluar dari kamar itu. Tapi Izumi menahanku dan bertanya apa yang mau kulakukan dengan wajah serius.
“Menyelamatkan Ayumi, apa lagi?” Aku berseru cepat. “Izumi. Kau ikut aku. Ayumi pasti masih dekat. Yuki, berhenti menangis dan bantulah Satoyama-san, segera!” Aku meneriaki Yuki dengan suara paling keras yang pernah di hasilkan pita suaraku.
Izumi dengan wajah tidak mengerti mengikutiku ke dalam hutan dan memanggil Ayumi berulang-ulang. Kami terus menyisir hutan itu sampai dua jam. Namun masih tak ada tanda keberadaan Ayumi. Izumi memukul pohon dengan kuat. Dia pasti sangat marah.
“Kato, aku tidak peduli yang menculik Ayumi hantu atau bukan. Apapun itu aku akan menghabisinya saat kutangkap.”
Aku mengepalkan tangan. “Bertahanlah, Ayumi. Aku pasti akan menyelamatkanmu. Aku berjanji.”
Matahari terbit lebih cepat saat kau berada di daerah yang tinggi. Aku, Izumi dan Yuki tidak melanjutkan tidur. Kami semua menunggu kabar dari Satoyama-san yang sedang meminta bantuan penduduk desa yang memiliki kemampuan spiritual.
“Apa menurut kalian ini semua dilakukan oleh hantu?” Tanya Izumi sambil menoleh kearahku dan Yuki.
Yuki menyentuh tanganku. “ Aku percaya memang itu hantu. Aku melihatnya langsung.”
“Omong kosong. Tidak mungkin ada hantu yang melakukan itu. Aku yakin kalau itu manusia.” Izumi menatap Yuki datar. Kemudian dia menatapku.
“Bagaimana menurutmu, Kato?”
“Aku belum pernah semarah ini sebelumnya. Dia pasti manusia, dan aku akan menangkapnya.”
Aku yakin kalau ini semua ulah manusia. Aku akan membokar identitas hantu palsu itu dan menyelamatkan Ayumi. Kali ini aku akan gunakan semua yang aku punya, tidak setengah-setengah, dan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan petunjuk.
Satoyama-san dengan langkah cepat menghampiri kami. Wajahnya terlihat gembira. “Ayumi-san sudah ditemukan oleh orang yang mempunyai kemampuan spiritual.”
“Benarkah?” Seru Yuki penuh antusias. Begitu juga aku dan Izumi. Kabar ini membuat senyum kami kembali.
“Benar, dia ditemukan dengan keadaan tak sadarkan diri, dan sekarang sedang dirawat di klinik.”
Tanpa pikir panjang, kami bertiga mengikuti Satoyama-san untuk sampai ke tempat Ayumi berada sekarang. Izumi dan Yuki terlihat senang sepanjang jalan, tapi aku tidak merasakan hal yang sama dengan mereka berdua. Memang aku senang Ayumi ditemukan, tapi ada beberapa hal yang masih menggangguku. Aku masih memikirkan tentang bagaimana Ayumi bisa menghilang, dan ditemukan tak sadarkan diri keesokan harinya. Aku tidak tahu pasti. Tapi jelas sekali ada sesuatu yang aneh di balik kejadian ini.
Kami menerobos kerumunan orang yang berkumpul di depan klinik itu, dan langsung menuju kamar Ayumi dirawat. Kelihatannya Ayumi sudah sadar. Dia duduk di tepi tempat tidur saat kami masuk.
“Maafkan aku, Ayumi-chan.” Yuki langsung memeluk Ayumi. Baru kali ini aku menyadari betapa sedihnya seseorang saat kehilangan temannya.
Izumi menyentuh bahuku. “Kato, kau tidak mau bergabung dengan mereka?” Tanya Izumi dengan suara pelan.
Aku mendengus kasar, merasa takjub karena Izumi masih sempat memikirkan hal konyol seperti itu. Izumi telah menaikkan penilaianku terhadapnya.
Biasanya, Izumi selalu bersikap bodoh, tapi semenjak Ayumi menghilang, wajah Izumi selalu menunjukkan ekspresi serius setiap kali dia bicara. Aku tak tahu isi pikiran Izumi, tapi jelas sekali dia adalah pria yang sangat peduli dengan siapa pun yang dia panggil dengan sebutan teman.
Aku berharap suatu hari nanti aku bisa memiliki kepedulian yang sama dengan mereka terhadapan teman-temanku.
Aku berjalan mendekati Ayumi, dan menghela napas lega. “Syukurlah. Aku senang karena kau baik-baik saja. Tapi, bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi denganmu?”
Ayumi menatapku dengan tatapan yang aneh. Kemudian menjawab dengan suara yang pelan. “Maaf, kalian siapa? Sekarang aku ada di mana?”
Izumi tertawa. “Lucu sekali, Ayumi-chan. Aku tak tahu kau bisa semarah itu. Apa kau marah karena Kato tidak bisa menjagamu. Aku juga sangat marah padanya, jadi maafkan...”
“Tunggu, Izumi.” Aku langsung memotong perkataan Izumi. “Dia tidak sedang marah, atau membuat lelucon. Dia serius.”
Aku tahu Ayumi bukanlah seseorang yang bisa membuat lelucon seperti itu, apalagi dengan keadaannya sekarang.
Pada saat itu, mataku terus mengunci tatapan mata Ayumi, dan aku bisa tahu bahwa ada yang aneh dengan tatapan matanya. Mungkin hanya aku yang menyadarinya, setiap Ayumi menatapku, matanya selalu berkilau. Tapi, saat Ayumi menatapku barusan, tidak terlihat sama sekali kilauan di matanya.
Apa yang sebenarnya terjadi?


- Copyright © Yorozuya Blog (万事屋ブログ) - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -