- Home >
- Light Novel >
- Original Light Novel 'This Is Unfair' Chapter 5 By Fatra Shiroyasha
Posted by : Unknown
Sabtu, 21 Januari 2017
Suara
nada dering dari ponselku membuatku terbangun dari mimpi yang sedang diputar di
alam bawah sadarku.
Aku
mengambil ponselku dimeja yang berada di sebelah tempat tidur dan nama Haru
Izumi tertera dilayar ponsel.
Entah
kenapa aku tidak begitu terkejut kalau Izumi yang menelponku sepagi ini. Hanya
Izumi yang paling memungkinkan.
“Apa
kau tidak punya kesibukan lain di hari libur ini?”
“Jadwalku
selalu penuh, kau tahu?” Aura sombongnya dapat kurasakan dengan hanya mendengar
suaranya saja.
“Teruslah
mengkhayal. Jadi, ada apa kau menelponku sepagi ini?”
“Apa
kau melupakannya?”
“Aku
tidak ingat pernah berjanji mau di telepon olehmu sepagi ini.”
“Aku
tebak kau juga tidak ingat kalau kita ada rencana hari ini?”
“Rencana?”
“Dasar
kau ini, bisakah kau lebih perduli dengan sekitarmu?”
“Itu
merepotkan. Dan juga, terlalu perduli akan sesuatu itu malah akan membawa
banyak masalah.”
“Apa
kau sudah berubah menjadi orang yang pesimis hanya dalam semalam?”
“Aku
tidak perduli. Yang lebih penting, sebenarnya apa yang akan kita lakukan?”
“Kita
akan berkunjung ke Desa Shibazuku.”
“Desa
Shibazuku? Kalau tidak salah itu adalah tempat yang terkenal dengan hal-hal
mistisnya.”
“Benar,
kita akan melakukan observasi pada desa itu. Aku tidak tahu siapa yang
menyarankan untuk pergi kesana. Jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan
hal-hal yang berbau mistis.”
“Aku
tidak pernah tahu ada hantu yang takut pada hantu juga.”
“Berhentilah
mengejekku dan cepatlah bersiap-siap.”
“Ya..ya.”
Setelah
menutup telepon aku langsung beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar
mandi. Sehabis mandi dan berpakaian serta menyiapkan beberapa perlengkapan
untuk dibawa ke desa itu, akupun berjalan turun ke arah ruang tengah untuk
sarapan sebelum berangkat.
Seperti biasa, kakakku sudah berada disana
ditemani secangkir kopi kesukaannya dan majalah wanita.
“Aku
sudah menyiapkan sarapan untukmu.” Ucapnya sambil menunjuk kearah roti dan
segelas kopi yang ada diatas meja didepannya.
“Apa
itu aman?”
“Kau
coba saja dulu, dengan begitu kau bisa memastikannya sendiri.”
“Apa
aku perlu menulis surat wasiat dulu?”
“Makan
saja cepat sebelum roti itu dingin.”
Setelah
itu aku mengambil sarapan yang sudah dibuatkan olehnya dan duduk disofa yang
sama dengan kakakku.
Aku
biasanya sarapan sambil membaca koran untuk mengetahui apa saja yang terjadi
diluar sana, tapi hari ini aku sedikit agak malas untuk membacanya dan akhirnya
aku memakan sarapanku sambil menonton berita di TV.
Berita
yang ditampilkan kurang menarik perhatianku karena hanya tentang hal-hal yang
menurutku tidak penting.
Tapi
saat aku ingin mematikannya, ada satu berita yang akhirnya bisa membuatku
tertarik, yaitu berita tentang Desa Berhantu Shibazuku.
Tempat
itu dijuluki seperti itu karena ada beberapa kasus yang sangat membingungkan,
hilangnya beberapa warga dan hewan ternak entah kemana yang sampai saat ini
tidak pernah ada yang tahu.
Rumornya
mereka semua diambil oleh roh yang menjadi penunggu didesa itu.
“Hmm,
jadi masih belum ada yang bisa menemukan kebenarannya ya?” Gumam kakakku yang
sepertinya tertarik juga dengan berita ini.
“Ngomong-ngomong,
aku akan pergi ke Desa Shibazuku untuk melakukan observasi disana.”
“Benarkah?
Kalau begitu namamu juga akan muncul sebagai korban di berita berikutnya.” Dia
mengatakan hal yang menyeramkan dengan mulut yang masih penuh dengan roti.
“Jangan
pernah mengalihkan pandanganmu dari Ayumi dan yang lainnya, lalu tetap
perhatikan keadaan disekitarmu.”
Bagaimana
dia bisa memberikan nasihat setelah mengatakan hal yang mengerikan sebelumnya?
“Mustahil memperhatikan mereka semua sekaligus dan dengan saat yang bersamaan
pula memperhatikan sekitarku.”
“Mudah
saja, kau harus berada diposisi yang bisa dengan mudah melihat mereka semua.
Seperti berjalan paling belakang pasti akan lebih mudah kan?”
“Tapi
begaimana aku memperhatikan keadaan disekitarku saat aku sedang mengawasi
mereka?”
“Siapa
yang bilang, kau harus melakukan semua itu seorang diri? Ayumi dan yang lainnya
akan melakukannya juga, mereka akan memperhatikanmu dan keadaan disekitarnya
juga. Lebih banyak mata lebih bagus bukan?”
Memang
benar, itu rencana yang cukup bagus untuk keadaan yang merepotkan itu. Kita
akan saling mengawasi satu sama lain dengan begitu tidak mudah seseorang untuk
melakukan sesuatu kepada kami.
Tapi,
semuanya tergantung dari kepintaran seseorang yang berada dibalik kasus ini,
bisa saja dia sudah menyiapkan sesuatu untuk menyambut tamu tidak diundang
seperti kami ini.
“Dan
juga, kalau kau sudah tidak bisa menyelesaikan kasus ini lebih baik segera kembali
saja. Lalu, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.” Jelas Kakakku.
“Kau
akan datang membantu?”
“Tidak!”
“Maaf,
salahku menanyakan sesuatu yang sudah jelas. Aku tidak akan bertanya lagi
padamu.”
“Kato.”
Panggil Kakakku dan aku menoleh ke arahnya. “Kau tidak boleh terlalu santai,
kasus ini sudah lama belum terpecahkan dan juga rumor tentang desa itu sudah
tersebar ke segala pelosok tempat.”
Aku
belum pernah melihat Kakakku seserius ini sebelumnya, mungkin karena dia
mengerti ini cukup berbahaya dia jadi sedikit khawatir dengan kami. “Aku
mengerti.”
Tidak
terasa sarapanku sudah habis kumakan, dan juga sudah hampir waktunya aku
berangkat ke sekolah untuk bertemu dengan yang lainnya.
Akhirnya
setelah merapihkan piring dan gelas yang kupakai tadi, aku segera mengambil
tasku dan berpamitan pada Kakakku.
“Hati-hati,
ingat semua saranku tadi. Dan jangan lupa jika terjadi sesuatu hubungi aku.”
“Baiklah,
kalau begitu aku berangkat.”
“Selamat
jalan.”
Aku
meninggalkan tempat berlindungku yang aman dan malah pergi ke tempat yang bisa
mengancam kehidupanku.
Entah
kenapa aku bisa jadi seperti ini, tapi yang pasti aku tidak mungkin diam saja
saat teman-temanku berada dalam bahaya.
Karena
mereka semua adalah hal yang berharga bagiku sekarang. Sesampainya disekolah aku
melihat mereka semua sedang memasukan barang bawaan mereka ke dalam mobil.
“Ku
kira kau tidak akan datang.” Tampang bodoh Izumi yang menyambutku itu membuatku
ingin segera membalikan badan dan langsung pulang.
“Begitukah?”
Aku langsung berjalan kembali menjauhi mereka.
Aku
bisa tahu Izumi mengejarku dan langsung menahanku untuk berjalan lebih jauh
lagi. ”Tunggu, kenapa kau malah pergi bodoh?”
“Hah?
Bukankah dari perkataanmu tadi sudah jelas? Kau tidak mengharapkanku untuk
datang kesini.”
“Aku
tidak bermaksud begitu. Dan juga, kau tidak perlu mengartikannya sejauh itu.”
“Maaf
saja, tapi aku ini orang yang selalu memandang jauh kedalam untuk menemukan
arti tersembunyi dari suatu hal.”
“Dan
itu merepotkan.”
“Diamlah,
orang sepertimu tidak akan mengerti.”
Aku
segera menghampiri Ayumi dan yang lainnya melewati si bodoh yang sedang
memikirkan arti dari perkataanku barusan. “Hei Kato, apa maksudnya orang
sepertiku?”
“Suatu
saat nanti kau akan mengetahuinya.” Balasku sambil tersenyum kecil.
Ayumi
dan yang lainnya terlihat sedikit tertawa melihat tingkah kami berdua.
“Kazuki-kun, kau tidak boleh seperti itu tahu?”
“Tidak
apa, dia juga tidak mengerti apa maksudnya itu.”
Mungkin
suatu saat dia masih mengingatnya dan mengetahui arti dari perkataanku dia akan
langsung memburuku.
“Yang
lebih penting, aku ingin tahu siapa yang menyarankan kita untuk pergi ke desa
itu?” Tanyaku.
“Aku...”
Yuki langsung menjawabnya dengan sangat santai. “Memangnya kenapa?”
“Apa
kau tidak memikirkan resikonya nanti jika terjadi sesuatu kepada kita?”
“Tenang
saja, kalau kita selalu waspada pasti kita akan selalu aman. Hantu atau apapun
itu tidak akan berani mendekati kita.” Suaranya terdengar sangat percaya diri.
“Bukan
itu...” Aku menunjuk ke arah Izumi yang sedang sibuk dengan kamera yang dia
bawa. “Aku lebih khawatir dengan resiko pergi ke tempat seperti itu dengannya.”
“Kenapa?”
“Hmm...
Di dalam novel yang aku baca dengan kasus yang sama, orang bodoh yang terlalu
bersemangat sepertinya yang mati lebih dulu. Aku tidak mau dibuat repot dengan
kematiannya.”
Sepertinya
Izumi menyadari kalau aku dan Yuki sedang memperhatikannya. Dia melambaikan
tangan ke arah kami berdua.
“Kalian
sedang membicarakan apa? Cepatlah! Aku sudah tidak sabar ingin memecahkan kasus
ini. Aku sangat bersemangat untuk menjadi orang yang pertama kali memecahkan
kasus ini.”
Aku
menghela napas. Yuki memegang bahuku dengan wajah yang sangat serius. “Kau
benar! Dia pasti yang mati pertama!”
Setelah
kami selesai memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil Mia-Sensei, kami
langsung berangkat ke tujuan kami yaitu Desa Shibazuku yang mitosnya berhantu.
Bisa
dibilang aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal mistis seperti itu.
Diperjalanan kami mencari tahu semua tentang Desa Shibazuku di internet,
walaupun yang kami temukan hanyalah beberapa hal yang tidak terlalu mencolok
tentang desa itu dan juga beberapa cerita hantu bertemakan mitos didesa itu.
Kami
tidak bisa menemukan informasi yang bisa dijadikan sebagai referensi untuk
tugas observasi ini. Bisa dibilang kami cukup nekat untuk datang ke tempat yang
berbahaya tanpa tahu apapun tentang tempat itu.
“Hei,
kira-kira berapa lama kita akan melakukan observasi disana?” Tanyaku pada Yuki.
“Hm?
Entahlah, yang pasti kita akan tetap disana sampai kita berhasil memecahkan
misteri ini. Karena itulah, jika kau ingin cepat pulang maka kau harus bisa
menemukan jawaban dari misterinya.”
“Yang
benar saja, dan juga kenapa harus aku sendiri yang melakukannya?”
“Bukankah
kau itu anak yang jenius? Makanya tidak heran kau dijuluki detektif hebat Klub
Relawan.”
“Apanya
yang detektif hebat? Memujiku tidak akan membuatmu mendapatkan apapun, lalu
darimana asal julukan aneh yang baru saja kudengar itu?” Aku mengepalkan
tanganku sambil melihat ke arah Izumi yang sedang pura-pura tertidur di kursi
paling belakang. “Orang itu....”
Saat
aku sedang ingin menjahili Izumi, Ayumi bertanya sesuatu. “Mia-sensei, apa kau
akan ikut dalam observasi nanti?”
“Hm...
Aku rasa tidak. Aku masih ada urusan lain. Jadi, kalian harus menyelesaikan
tugas ini sendiri.”
“Dengan
begini kita bisa lebih meresapi kegiatan ini bukan?” Tanya Yuki dengan semangat
yang tidak akan pernah aku miliki itu.
Aku
pikir kita malah akan meresapi saat-saat terakhir hidup kita. Aku tidak tahu
kalau lokasi desa itu akan sejauh ini dari kota Nagasaki. Ayumi dan Yuki juga
sudah tertidur, dan Izumi masih belum bergerak juga dari posisi pertamanya.
“Mereka
seperti anak kecil yang sedang ingin pergi liburan saja.” Gumam Mia-sensei.
“Mereka
memang terlihat sudah dewasa di luar, tapi di dalamnya masih terdapat jiwa anak
kecil. Mereka tidak akan memikirkan resiko apapun saat ingin melakukan sesuatu.”
Ucapku.
“Hahaha,
mungkin kau benar. Tapi, anak-anak seperti merekalah yang membuat orang dewasa
tidak bisa menolak permintaannya. Dan membuat kita ingin melindungi mereka
apapun yang terjadi.”
“Benar
sekali. Karena itulah mereka selalu membuatku kerepotan.”
Mia-sensei
hanya tersenyum setelah mendengarnya dan tetap mengemudikan mobilnya. Aku juga
pastinya memiliki jiwa seorang anak kecil.
Tapi,
bukan anak kecil yang bahagia. Melainkan anak kecil yang sangat menderita
karena apa yang dialaminya.
Jika
saja aku bisa kembali ke waktu itu dan memperbaiki segalanya. Mungkin sekarang
aku juga akan sama seperti mereka.
Aku
mencoba untuk memejamkan mata sejenak agar nantinya tidak merasakan kantuk saat
observasi.
Dan
saat aku hampir terlelap aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh bahuku.
Setelah aku membuka mataku dan melihatnya.
Ternyata
yang membuatku terbangun lagi adalah Ayumi karena dia bersandar ke bahuku. Entah
karena mobil yang berbelok atau karena dia sudah tidak betah dengan gaya
tidurnya yang sebelumnya, sampai-sampai dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Ini
pertama kalinya aku melihat Ayumi dan yang lainnya saat sedang tertidur. Dan
juga, Aku tidak pernah tahu kalau wajah Ayumi saat tertidur bisa menjadi sangat
lucu. Aku mencoba untuk tetap tenang
dalam situasi ini.
Jika
aku panik pasti Ayumi akan terbangun. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya.
Akhirnya aku tetap diam dan kembali memejamkan mataku.
Beberapa
menit kemudian aku mulai merasakan kantuk yang menjalar ke seluruh tubuhku,
sampai akhirnya membuatku terlelap seketika.
Aku
mendengar seseorang memanggil namaku berulang kali. Aku mencoba untuk tidak
menghiraukannya, karena kupikir itu hanyalah imajinasiku.
Tapi
entah kenapa, semakin lama suara yang memanggilku itu semakin keras. “Kato!
Hey! Bangunlah kita sudah sampai. Kau juga Ayumi-san.”
Setelah
mendengar seseorang mengatakan itu, aku mencoba membuka kedua mataku dan
melihat asal suara itu.
Ternyata
Izumi mencoba membangunkanku yang sedang tertidur lelap. “Bisakah kau tidak
memanggil namaku dengan keras seperti itu? Itu menjengkelkan kau tahu?” Ucapku
sambil mengusap-usap rambutku.
“Membangunkanmu
itu baru hal yang menjengkelkan, dasar.”
Aku
mengambil tasku dan beranjak turun dari mobil sampai aku merasakan ada sesuatu
yang menempel di bahuku.
Saat
aku melihat kearah sesuatu itu, ternyata Ayumi masih tertidur nyenyak di
sebelahku. Pantas saja tadi Izumi menyebut nama Ayumi saat membangunkanku.
“Ah,
Kato. Bisa kau bangunkan Ayumi-san? Aku sudah mencobanya tadi, tapi sama saja
denganmu.” Seru Izumi dari luar mobil.
Apa
yang kau maksud sama saja denganku? Dasar dia membuatku terdengar seperti orang
yang buruk saja.
Mungkin
saja Ayumi hanya terlalu lelah sehingga membuatnya lama tertidur. Sebenarnya
aku ini orang yang sangat tidak suka mengganggu orang yang sedang istirahat.
Karena
aku ini orangnya suka dengan hal yang menenangkan dan aku tahu bagaimana
rasanya di ganggu disaat seperti itu.
“Ayumi,
bangunlah. Kita sudah sampai.” Dia hanya merespon ucapanku dengan menggeser
kepalanya lebih kearah leherku. Dan tentu saja itu membuatku sedikit terkejut.
“He..
Hey! Ayumi. Kau dengar? Kita sudah
sampai, jadi bangunlah.” Setelah aku mengatakannya Ayumi perlahan membuka
kelopak matanya dan mulai mendapatkan kesadarannya kembali.
“Hmm...
Apa sudah sampai?” Dia menanyakan hal itu entah kepada siapa.
“Ya,
kita sudah sampai.” Dia perlahan menoleh dan melihat ke arahku dan sesuatu yang
diluar perkiraanku terjadi.
Wajahku
dengan wajah Ayumi hanya berjarak beberapa centi saja. Aku hanya bisa terdiam
dan melihat jauh kedalam matanya yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya
itu.
Aku
sadar kalau situasi ini sangat tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Akhirnya aku
langsung menarik wajahku menjauh darinya.
“Ma...
Maaf, Karena kau sudah bangun. Ayo kita segera turun.” Ucapku dan langsung
beranjak turun dari mobil. Ayumi juga segera turun setelah mengambil tasnya.
Aku melihat sekelilingku dan terlihat Desa Shibazuku yang tadi pagi kulihat di
TV.
Desa
Shibazuku mungkin terkenal karena cerita-cerita seram yang menyertainya. Tapi,
kesan pertamaku saat melihatnya langsung ternyata sangat berbanding terbalik
dari yang selama ini di tayangkan di TV. Desa yang berada di atas bukit ini
terlihat ramah. Hutan yang mengelilingi desa Shibazuku memang memberi kesan
menyeramkan pada malam hari, tapi itu sama sekali tak bisa menutupi fakta bahwa
desa ini sangat indah.
Sudah
hampir satu jam kami berjalan menyusuri desa ini. Tujuan kami hanya satu, yaitu
menemukan penginapan untuk beristirahat dan melakukan persiapan untuk melakukan
observasi. Karena sudah tidak kuat berjalan lagi, aku memutuskan untuk duduk
sebentar pada kursi yang ada di pinggir jalan
“Bagaimana
kalian bisa memiliki stamina sebesar ini?” Tanyaku. Itu membuat mereka menoleh
ke arahku.
“Bukan
stamina kami yang besar, tapi staminamu yang terlalu kecil.” Komentar Izumi. Di
wajahnya tidak ada sedikitpun tanda-tanda kelelahan.
Aku
tersenyum. Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku. “Untuk kali ini kau
benar, Izumi. Aku tidak akan membantahnya. Tapi, percuma saja kita mencari
penginapan dengan cara seperti ini.”
“Percuma
kenapa?” Tanya Yuki pelan.
Aku
menatap langit yang mulai berwarna kemerahan sebelum menjawab. “Penginapan yang
pertama kita datangi sedang direnovasi. Apa kau berpikir masih ada penginapan
yang lainnya? Dengan cerita-cerita menyeramkan yang menyebar di tempat ini, itu
membuat orang tidak akan berkunjung ke sini. Lagipula kita sudah membuktikan dengan
berjalan selama satu jam tapi tak menemukan penginapan sama sekali.”
“Lalu
apa yang harus kita lakukan?”
“Tidak
banyak waktu sampai matahari terbenam.” Aku terdiam. Berpikir sejenak.
“Bagaimana dengan rumah penduduk? Cari rumah penduduk yang cukup besar, lalu
kita minta agar pemiliknya mau menyewakan beberapa ruangannya untuk kita. Itu
lebih baik dibandingkan cara seperti ini.”
Tiba-tiba
seorang laki-laki paruh baya terlihat menghampiri kami dari jauh dan langsung
menyapa kami.
“Maafkan
saya, apa kalian sedang mencari penginapan? Bagaimana kalau dirumah saya saja?”
Bukannya
menjawab, kami semua justru kebingungan dan saling pandang satu sama lain.
“Paman yakin?” Aku memecah keheningan dan menjawab pertanyaan yag masih
menggantung itu. “Kami berempat, jadi butuh dua ruangan.”
Pria
yang terlihat sudah berumur 50 tahun itu justru tertawa dengan ramah. “Saya
tinggal sendiri. Rumah saya juga cukup besar.”
Dia
kemudian membungkuk untuk memperkenalkan diri. Namanya adalah Satoyama-san.
Walaupun kami lebih muda darinya, tapi Satoyama-san membungkuk dengan penuh
rasa hormat.
Dengan
cepat kami bergantian memperkenalkan diri. Akhirnya kami menerima tawaran yang
diberikan Satoyama-san, atau lebih tepatnya kami tidak punya alasan untuk
menolaknya. Lagipula kami semua sudah sangat lelah. Apa ada pilihan lebih baik
dari ini?
“Wah...
rumahnya memang sangat besar.” Seru Ayumi antusias. Matanya berbinar melihat
rumah dengan gaya tradisional Jepang di hadapannya.
Satoyama-san
membuka pintu gerbang yang tingginya melebihi kami semua. “Masuklah. Tidak usah
sungkan!”
Kami
mengangguk dengan patuh. Tanpa pikir panjang kami masuk ke dalam dan mengikuti
Satoyama-san sampai ke ruang tamu. Lalu dia menyuruh kami untuk duduk sementara
dia mengambilkan kami minum.
Mataku
tak pernah berhenti memandangi seluruh ruangan tamu. Aku merasa takjub melihat
ruangan yang dipenuhi barang-barang tradisional Jepang yang bahkan aku sebagai
orang Jepang tidak pernah melihatnya. Semua barang-barang itu membuat suasana yang
sangat klasik... Tentu juga suasana mistis yang sedikit menyeramkan.
Lima
menit kemudian, Satoyama-san kembali sambil membawa beberapa gelas minum dan
menaruhnya di atas meja. “Silahkan diminum.”
Izumi
tanpa canggung langsung mengambil gelas di hadapannya dan meminumnya dengan
cepat. Hanya sekejap saja gelas itu sudah kosong lagi. “Rasanya aku hidup
kembali. Baru kali ini aku merasakan air senikmat ini.”
Gelak
tawa kami semua pecah melihat perilaku Izumi.
“Baiklah,
kamar pria ada di sudut lantai bawah. Sedangkan yang wanita ada di lantai atas,
kamar kedua di dekat tangga.”
“Terima
kasih banyak, Satoyama-san.” Aku berdiri dan membungkuk. Kemudian kami pamit
untuk segera masuk ke dalam kamar masing-masing.
Hampir
pukul tujuh malam. Setelah mandi, aku berganti pakaian tidur. Saatnya beristirahat.
Badanku remuk karena berjalan sangat jauh ketika mencari penginapan. Sayangnya,
kata-kata umpatan yang menyebalkan memenuhi langit-langit kamar. Aku refleks
berdiri, menutup telinga dengan tangan.
“Jangan
berisik, Bodoh!” Aku melempar bantal ke arah Izumi yang sedang
menggerak-gerakkan ponselnya di udara.
“Ponselku
tidak ada sinyal. Seharusnya aku sudah mengabari orangtuaku saat ini.” Jawab
Izumi dengan nada kesal. Lalu menoleh ke arahku. “Kato! Aku pinjam ponselmu.”
Aku
segera mengambil ponsel yang kutaruh di dalam tas. Tapi, status yang
menampilkan sinyal di ponselku juga tidak ada sama sekali. “Aku juga tidak
mendapatkan sinyal. Pasti sedang ada gangguan. Kau bisa coba lagi nanti. Jadi,
sekarang tutup mulutmu!”
Izumi
menaikkan sebelah alisnya. “Apa mungkin tidak ada menara pemancar di desa ini?
Apa sedang diperbaiki? Rusak dihempas angin?”
Aku
menghela napas. Pertanyaan Izumi sama sekali tidak dibarengi dengan akal sehat.
Walaupun pemancar sinyal di desa ini tidak ada atau hancur, desa ini tak begitu
jauh dengan pusat kota. Harusnya pemancar yang ada di pusat kota atau di
sekitar desa Shibazuku bisa menjangkaunya.
Ah,
sudahlah... tidak usah dipikirkan. Aku kembali berbaring di atas kasur. Menarik
selimut, lalu dengan perlahan memejamkan mata. Sekaligus berusaha mengabaikan
Izumi yang masih saja terus mengeluh tentang sinyal. Lalu, aku pun tertidur.
Suara
bising membngunkanku. Aku meraih ponsel Izumi yang di letakkan di samping
kepalanya. Pukul 23:45. Terdengar suara serangga yang saling bersahutan. Aku
berjalan keluar untuk mengambil minum.
Tapi,
aku melihat Satoyama-san yang sedang duduk termenung di teras sambil menatap
bintang-bintang yang bertaburan di langit. Dengan perlahan aku melangkah ke
arahnya setelah mengambil minum.
“Sedang
apa, Satoyama-san?”
Dia
menoleh. Entah kenapa wajahnya terlihat begitu terkejut melihatku. “Kazuki-kun?
Saya kira hantu. Saya hanya sedang menenangkan hati dan pikiran.”
“Dari
apa?” Tanyaku singkat. Aku membuka kaleng minuman yang kupegang dan langsung
menghabiskannya.
“Dari
kehilangan seseorang yang sangat berarti bagimu. Tiga bulan lalu, anak
laki-lakiku, Aoki, pergi kehutan untuk berburu. Tapi, dia menghilang dan tak
pernah kembali sampai sekarang. Banyak yang menduga kalau dia tewas karena
dimakan hewan buas, tapi tubuhnya tidak pernah di temukan. Saya percaya Aoki
masih hidup. Jadi setiap malam aku memandang langit karena aku tahu anakku
memandang langit yang sama.”
Aku
mengangguk. Kemudian duduk di sebelah Satoyama-san. “Menurut paman, apa yang
terjadi pada Aoki-san?”
“Saya
tidak tahu, tapi banyak yang mengatakan kalau anakku di culik hantu yang ada di
hutan karena dia merusak alam dan sebagainya.”
“Paman
mempercayainya?” Aku menatapnya sangat serius. Aku tak menyangka kalau
Satoyama-san adalah narasumber yang cocok untuk alasan kami datang ke desa ini.
“Entahlah...”
Jawab Satoyama-san pelan. Suaranya kini bergetar. “Jika Aoki masih hidup,
kenapa dia tidak pulang ke rumah? Jika dia sudah meninggal, kenapa tubuhnya
tidak pernah ditemukan? Berapa kali pun saya memikirkannya, semua itu tidak
masuk akal.”
Aku
menopang dagu. Rasa kantuk membuatku menguap berkali-kali. Tapi Satoyama-san
masih tetap memandangi langit tanpa terlihat mengantuk sedikit pun. Aku
menyadari dua kemungkinan tentang hilangnya anak Satoyama-san.
Satu,
Aoki dimakan binatang buas dan tubuhnya sulit di temukan karena sudah tercerai
berai atau dibawa ke tempat yang sulit dijangkau oleh manusia. Kedua, Aoki
sengaja membuat dirinya seolah-olah mengilang di hutan hanya untuk bisa pergi
dari rumah.
Aku
tidak mengatakan itu pada Satoyama-san. Aku lebih tertarik dengan sesuatu yang
lain. “Satoyama-san, apa kau tahu tentang mitos di desa ini? Bisa kau
menceritakannya padaku?”
Satoyama-san
menggelengkan kepala, tapi dia tetap menjawab. “Mitos itu bermula saat ada
penduduk desa yang melihat bayangan hitam ketika sedang melakukan aktivitas di
dalam hutan, dan keesokan harinya, orang yang melihat bayangan itu hilang tak
berbekas. Setelah kejadian yang sama terus berulang, akhirnya penduduk desa
mengambil kesimpulan bahwa siapa pun yang melihat bayangan hitam itu di hutan
akan menghilang pada keesokan harinya. Karena itu, semua penduduk desa selalu
berpikir dua kali saat hendak masuk ke dalam hutan.”
Aku
menghela napas. Tidak sesuai harapan. Satoyama-san hanya memberikan informasi
yang sudah aku lihat berkali-kali di televisi tentang mitos desa ini. Apa
Satoyama-san menyembunyikan sesuatu?
“Sepertinya
aku akan kembali ke kamar.” Aku berdiri dan berbalik. “Terima kasih tentang
informasinya. Satu lagi, aku juga percaya kalau anak paman masih hidup.”
Setelah
selesai bicara, aku berjalan untuk kembali ke kamar. Tapi saat melewati tangga,
aku mendengar suara seseorang yang berlari di lantai atas. Aku mengintip ke
arah atas tangga itu, namun tidak ada siapa-siapa.
Kemudian
suara langkah kaki itu semakin keras dan semakin keras. Sedetik kemudian,
bukannya menuruni anak tangga dengan berjalan, Yuki justru melompat dari lantai
atas dan jatuh menimpaku.
Kami
tersungkur di lantai. Dada Yuki menekan wajahku dan membuatku kesulitan
bernapas.
“Bisa...”
Nada suaraku terputus-putus. “Bisa kau menyingkir dariku?”
Yuki
refleks berdiri. Wajahnya memerah. “Maaf!”
Permintaan
maaf itu tidak bisa menjelaskan kenapa dia berlari-lari pada tengah malam
dengan mengenakan piyama.
Olahraga
pada malam hari juga ada batasnya. Belum sempat aku bertanya tentang apa yang
sedang dia lakukan, Yuki sudah terlebih dulu bicara.
“Aku
melihat bayangan hitam di dalam kamar. Bentuknya menyerupai manusia. Aku
berlari ke luar kamar, dan dia mengikutiku, jadi aku melompat dari tangga.
Untung saja ada kau. Terima kasih.”
Aku
sama sekali tidak senang dengan ucapan terima kasih itu. Aku menelan ludah,
lalu menatap lantai atas secara perlahan. Setelah memastikan tidak ada
siapa-apa, aku berbalik pada Yuki. “Tidak ada siapa pun di atas sana. Kau yakin
tidak sedang bermimpi buruk?”
“Tetap
saja aku takut. Jangan tinggalkan aku sendiri.” Yuki mulai menangis. Dia
langsung memelukku dengan erat.
Aku
mengangguk... membiarkan dia memelukku. “Dimana Ayumi? Kau meninggalkannya
sendirian? Jahat sekali perlakuan seseorang yang tidak ingin ditinggal
sendiri.”
Pelukan
terlepas. Yuki menyeka air matanya sebelum menjawab. “Dia sudah tertidur. Aku
tidak sempat membangunkannya.”
Tiba-tiba
saja aku teringat pembicaraanku dengan Satoyama-san. Tanpa berkomentar lagi aku
langsung berlari ke lantai atas.
Bayangan
itu gagal mendapatkan Yuki yang melihatnya, jangan-jangan... pikiranku sangat
kacau saat berlari menuju kamar yang ditempati Yuki dan Ayumi, aku menggeser
pintunya dengan kuat.
Ruangannya
sangat berantakan, seperti habis ada perkelahian. Aku melihat ke setiap sudut
kamar itu, tapi tidak menemukan Ayumi.
“Ayumi
menghilang.” Air mata mulai menuruni pipi Yuki. “Ini salahku... Pasti bayangan
itu yang melakukannya.”
Aku
mengabaikan Yuki, dan sibuk berdialog dengan pikiranku. Bagaimana caranya
bayangan itu membawa Ayumi keluar dari kamar ini? Tidak terlihat tanda-tanda
jendela yang habis di buka seseorang, terlebih lagi kamar ini berada di lantai
atas.
Satu-satunya
cara bayangan itu keluar dari lantai atas hanyalah turun melewati tangga dan
keluar melalui pintu depan. Tapi, aku dan Yuki sejak tadi berdiri di bawah
tangga dan tidak melihat atau mendengar sesuatu yang aneh.
Satoyama-san
datang bersama dengan Izumi. “Ada apa, Kato?” Tanya Izumi.
Aku
menjawab tanpa menoleh ke arah Izumi. “Ayumi menghilang. Bukan... tapi dia
sudah diculik oleh seseorang.”
Mendengar
hal itu Satoyama-san dan Izumi terperanjak kaget. “Bagaimana mungkin? Bagaimana
mungkin, Kato?” Izumi memegang kedua bahuku dengan kuat. Terlalu kuat.
Aku
menghembuskan napas. Menatap wajah tiga orang yang saat ini sedang kacau, termasuk aku. Tidak ada suara, aku tidak punya
ide harus bagaimana.
Ruangan
semakin senyap. Yuki duduk di kasur yang tadi di tiduri Ayumi sebelum menghilang.
Satoyama-san sedang melaporkan ini kepada polisi. Sedangkan Izumi duduk
bersandar pada pintu.
Aku
segera keluar dari kamar itu. Tapi Izumi menahanku dan bertanya apa yang mau
kulakukan dengan wajah serius.
“Menyelamatkan
Ayumi, apa lagi?” Aku berseru cepat. “Izumi. Kau ikut aku. Ayumi pasti masih
dekat. Yuki, berhenti menangis dan bantulah Satoyama-san, segera!” Aku
meneriaki Yuki dengan suara paling keras yang pernah di hasilkan pita suaraku.
Izumi
dengan wajah tidak mengerti mengikutiku ke dalam hutan dan memanggil Ayumi
berulang-ulang. Kami terus menyisir hutan itu sampai dua jam. Namun masih tak
ada tanda keberadaan Ayumi. Izumi memukul pohon dengan kuat. Dia pasti sangat
marah.
“Kato,
aku tidak peduli yang menculik Ayumi hantu atau bukan. Apapun itu aku akan
menghabisinya saat kutangkap.”
Aku
mengepalkan tangan. “Bertahanlah, Ayumi. Aku pasti akan menyelamatkanmu. Aku
berjanji.”
Matahari
terbit lebih cepat saat kau berada di daerah yang tinggi. Aku, Izumi dan Yuki
tidak melanjutkan tidur. Kami semua menunggu kabar dari Satoyama-san yang
sedang meminta bantuan penduduk desa yang memiliki kemampuan spiritual.
“Apa
menurut kalian ini semua dilakukan oleh hantu?” Tanya Izumi sambil menoleh
kearahku dan Yuki.
Yuki
menyentuh tanganku. “ Aku percaya memang itu hantu. Aku melihatnya langsung.”
“Omong
kosong. Tidak mungkin ada hantu yang melakukan itu. Aku yakin kalau itu
manusia.” Izumi menatap Yuki datar. Kemudian dia menatapku.
“Bagaimana
menurutmu, Kato?”
“Aku
belum pernah semarah ini sebelumnya. Dia pasti manusia, dan aku akan
menangkapnya.”
Aku
yakin kalau ini semua ulah manusia. Aku akan membokar identitas hantu palsu itu
dan menyelamatkan Ayumi. Kali ini aku akan gunakan semua yang aku punya, tidak
setengah-setengah, dan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan petunjuk.
Satoyama-san
dengan langkah cepat menghampiri kami. Wajahnya terlihat gembira. “Ayumi-san
sudah ditemukan oleh orang yang mempunyai kemampuan spiritual.”
“Benarkah?”
Seru Yuki penuh antusias. Begitu juga aku dan Izumi. Kabar ini membuat senyum
kami kembali.
“Benar,
dia ditemukan dengan keadaan tak sadarkan diri, dan sekarang sedang dirawat di
klinik.”
Tanpa
pikir panjang, kami bertiga mengikuti Satoyama-san untuk sampai ke tempat Ayumi
berada sekarang. Izumi dan Yuki terlihat senang sepanjang jalan, tapi aku tidak
merasakan hal yang sama dengan mereka berdua. Memang aku senang Ayumi
ditemukan, tapi ada beberapa hal yang masih menggangguku. Aku masih memikirkan
tentang bagaimana Ayumi bisa menghilang, dan ditemukan tak sadarkan diri
keesokan harinya. Aku tidak tahu pasti. Tapi jelas sekali ada sesuatu yang aneh
di balik kejadian ini.
Kami
menerobos kerumunan orang yang berkumpul di depan klinik itu, dan langsung
menuju kamar Ayumi dirawat. Kelihatannya Ayumi sudah sadar. Dia duduk di tepi
tempat tidur saat kami masuk.
“Maafkan
aku, Ayumi-chan.” Yuki langsung memeluk Ayumi. Baru kali ini aku menyadari
betapa sedihnya seseorang saat kehilangan temannya.
Izumi
menyentuh bahuku. “Kato, kau tidak mau bergabung dengan mereka?” Tanya Izumi
dengan suara pelan.
Aku
mendengus kasar, merasa takjub karena Izumi masih sempat memikirkan hal konyol
seperti itu. Izumi telah menaikkan penilaianku terhadapnya.
Biasanya,
Izumi selalu bersikap bodoh, tapi semenjak Ayumi menghilang, wajah Izumi selalu
menunjukkan ekspresi serius setiap kali dia bicara. Aku tak tahu isi pikiran
Izumi, tapi jelas sekali dia adalah pria yang sangat peduli dengan siapa pun
yang dia panggil dengan sebutan teman.
Aku
berharap suatu hari nanti aku bisa memiliki kepedulian yang sama dengan mereka
terhadapan teman-temanku.
Aku
berjalan mendekati Ayumi, dan menghela napas lega. “Syukurlah. Aku senang
karena kau baik-baik saja. Tapi, bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi denganmu?”
Ayumi
menatapku dengan tatapan yang aneh. Kemudian menjawab dengan suara yang pelan.
“Maaf, kalian siapa? Sekarang aku ada di mana?”
Izumi
tertawa. “Lucu sekali, Ayumi-chan. Aku tak tahu kau bisa semarah itu. Apa kau
marah karena Kato tidak bisa menjagamu. Aku juga sangat marah padanya, jadi
maafkan...”
“Tunggu,
Izumi.” Aku langsung memotong perkataan Izumi. “Dia tidak sedang marah, atau
membuat lelucon. Dia serius.”
Aku
tahu Ayumi bukanlah seseorang yang bisa membuat lelucon seperti itu, apalagi
dengan keadaannya sekarang.
Pada
saat itu, mataku terus mengunci tatapan mata Ayumi, dan aku bisa tahu bahwa ada
yang aneh dengan tatapan matanya. Mungkin hanya aku yang menyadarinya, setiap
Ayumi menatapku, matanya selalu berkilau. Tapi, saat Ayumi menatapku barusan,
tidak terlihat sama sekali kilauan di matanya.
Apa
yang sebenarnya terjadi?
Navigation